Hal itu disampaikan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Aulia Rahman pada Focus Group Discussion (FGD) Restorasi Budaya Maritim, yang berlangsung di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (18/11).
Menurut Aulia, pemerintah seharusnya memiliki kapal pemburu yang handal untuk bisa menangkap kapal asing yang mencuri ikan. "Semua instansi membeli kapal, tetapi ukurannya kecil. Kapal seperti itu tidak mampu memburu kapal asing," katanya.
Instansi yang membeli kapal yakni Kementerian Perhubungan, Bea Cukai dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk mencegah masuknya kapal asing yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, kapal yang dimiliki pemerintah harus berukuran besar. Kawasan perairan Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga sangat luas sehingga perlu diawasi banyak kapal.
Aulia juga mengemukakan masalah perumusan budaya maritim Indonesia. Seharusnya berpijak pada adanya perubahan paradigma dari budaya daratan. Pemerintah seharusnya menanamkan budaya maritim sebagai visi pembentuk budaya nasional.
Namun, kata Aulia, kebijakan budaya nasional malah membuat budaya di daerah tidak berkembang. "Kelemahan karakter bangsa kita sendirilah yang membuat kita tidak mampu memanfaatkan hasil laut secara maksimal," ujarnya.
Dia mencontohkan budaya masyarakat NTT sebagai pelaut ulung tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Selain itu, masyarakat yang bermukim di pesisir pantai malah bekerja di ladang sebagai petani.
Sebagai bangsa maritim, kata Aulia pula, Indonesia harus mempunyai kebudayaan maritim yakni menfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara. "Laut harus menjadi pemersatu, bukan sebagai pemisah," ucapnya. YOHANES SEO.