Barda mengangap percuma seseorang dihukum setinggi-tingginya jika kondisi lingkungan masih memungkinkannya dan orang lain mengulangi perbuatan. Sebab dari penelitian yang pernah dilakukannya, tidak ada korelasi antara kuantitas pidana dengan efek jera seseorang.
“Kalau moralnya bejat dan lingkungannya mendukung, diancam hukum seberat apapun ya tidak ada efek jeranya. Jadi bukan faktor di dalam pidananya itu sendiri,” kata Barda saat dihubungi Tempo. Tapi paling tidak, katanya, “Kalau sanksinya berat, itu memberi efek psikologis dua kali lipat pada orang lain yang akan berbuat serupa.”
Ia mengatakan, hukuman mati untuk koruptor bukan tak mungkin diimplementasikan di Indonesia. Meski selama ini, jenis hukuman tersebut baru dikenakan pada terpidana kasus narkotika. Beda dengan Cina yang sudah melaksanakan jenis hukuman tersebut untuk para koruptor di negara mereka.
Hanya saja, kata Barda, perlu ada evaluasi lebih lanjut untuk membuktikan hukuman mati bisa mengurangi angka korupsi. Caranya, dengan mencantumkannya di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar bisa dikenakan ke koruptor. “Soal efek jera, kita tidak pernah tahu sebuah hukuman memberi efek jera atau tidak, kalau belum pernah diterapkan sebelumnya,” ujarnya.
Barda berpendapat, sebenarnya bisa saja negara mencari alternatif lain menghukum koruptor. “Mungkin, bisa dengan ditayangkan wajahnya di muka umum seperempat jam saja tapi berulang-ulang, ataukah memperbolehkan dia ditampar masyarakat dalam beberapa menit,” ujarnya. “Sayang hukuman badan di Indonesia tidak ada.”
ISMA SAVITRI