“Indonesia perlu memiliki pusat pengolahan padi di setiap daerah seperti Purbalingga sehingga beras petani tidak jatuh ke tengkulak,” ujar Sekretaris Menteri Pertanian, Baran Wiriawan saat mengunjungi Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Utama (Puspahastama) di Purbalingga, Senin (22/11).
Menurutnya, Puspahastama merupakan model ideal bagi solusi pangan Indonesia. Di Puspahastama, pemerintah ikut campur dalam mengendalikan harga beras di tingkat petani.
Saat panen tiba, pemerintah melalui Puspahastama membeli gabah milik petani. Di pusat pengolahan tersebut, gabah dikeringkan, digiling, dikemas lalu dipasarkan. Sejauh ini, beras dari Puspahastama sudah digunakan sekitar 9.000 PNS dan TNI di Purbalingga.
Ia berharap, pemerintah setempat bisa memperluas pasar agar beras petani yang terserap semakin banyak. “Daripada gabah petani dibeli tengkulak dengan sistem ijon, tentu akan sangat merugikan petani,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian Purbalingga, Lily Purwati mengatakan, Puspahastama mampu menampung 60 ton gabah milik petani setiap bulannya. “Kami sebenarnya masih bisa menampung hingga 75 ton padi perbulan, tapi kendalanya pada modal,” katanya.
Lily mengatakan, Purbalingga mempunyai 34 ribu hektare lahan padi. Hingga Oktober, produksi padi Purbalingga mencapai 198 ribu ton. Setelah dikurangi kebutuhan masyarakat, masih ada surplus beras sekitar 35 ribu ton.
Ia berharap, pemerintah pusat memperbolehkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga mengurusi stok dan penyaluran beras miskin yang selama ini diurusi oleh Bulog. Ia yakin, Puspahastama dengan kapasitas produksinya mampu memenuhi kebutuhan beras miskin di daerah tersebut.
Wakil Bupati Purbalingga, Sukentho Ridho Marhaendrianto mengatakan, saat ini rata-rata usia petani di atas 50 tahun. “Ini kendala sektor pertanian karena anak muda lebih memilih bekerja di kota ketimbang menjadi petani. Mereka berpikir menjadi petani tidak akan kaya,” katanya.
Ia berharap kementerian bisa membantu teknologi pertanian yang bisa membantu kesejahteraan petani. Selama ini, PDRB Purbalingga 30 persen disumbang oleh sektor pertanian.
Sementaran itu, Ketua Kelompok Tani Tri Utami Kalimanah Purbalingga, Hadi Suwarno mengatakan, petani terpaksa menjual padi miliknya secara ijon ke tengkulak karena sulitnya permodalan. “Untuk menamam hingga panen, kami butuh Rp 3,5 juta setiap hektarenya. Dari pengijon inilah, kami dapat modal,” katanya.
ARIS ANDRIANTO