Imam mengatakan, larangan itu tak semata-mata persoalan boleh atau tidak boleh. Tapi bagaimana seorang wartawan tidak melakukan sebuah tindakan yang suatu ketika bisa bertabrakan dengan tugas jurnalistiknya.
“Misalnya saja, Anda pegang saham BNI. Suatu saat ada isu yang bisa membuat saham BNI anjlok. Apa yang akan anda lakukan? Ini sebenarnya sama saja dengan aturan bahwa anda sebagai jurnalis tidak boleh menerima amplop,” jelas Imam.
Ia berharap, wartawan bursa tidak salah paham dengan aturan ini. “Karena ini masalah etika. Seandainya ada konflik, mana yang harus dia pilih.”
Sebelumnya dikabarkan sejumlah wartawan membeli saham perdana PT Krakatau Steel senilai lebih dari Rp 600 juta. Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menyatakan, wartawan bursa dilarang membeli saham demi menghindari konflik kepentingan.
IJTI, kata Imam, mendukung sikap Dewan Pers. “Dewan Pers sebagai pengawal etika jurnalistik memang harus terus menggonggong dalam setiap bentuk kegiatan jurnalistik yang berkaitan dengan etika,” ujarnya.
Menurut Imam, apakah tiap perusahaan pers seharusnya membuat aturan internal mengenai larangan wartawan bursanya membeli saham, itu tergantung kebijakan media. Sebab, kata dia sekali lagi, yang diatur di sini adalah masalah etika dan moral.
“Sanksinya di sini kan sanksi moral. Jika perusahaan pers itu masih merasa sebagai stakeholder etika profesi dan ingin mengamankan etika itu, ya harus ada aturannya. Tapi misalnya nggak mau, ya publik akan tahu sendiri,” kata Imam.
Isma Savitri