Gugatan diajukan pada Juni 2010 oleh lima warga yang mewakili 70 warga Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Simo, Desa Juwet Kenongo, dan Desa Kebon Agung, Kecamatan Porong, serta warga Desa Ketapang, Desa Kali Sampurno, Kecamatan Tanggulangin. Mereka menuntut transparansi harga ganti rugi tanah mereka yang digunakan untuk proyek jalan tersebut.
Adapun pihak tergugat terdiri dari Bupati Sidoarjo, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), dan Tim Independen Pembebasan Lahan.
Majelis hakim juga mengatakan alat bukti yang diajukan penggungat lemah. Di antaranya bukti kepemilikan tanah yang diajukan salah seorang penggugat, Purwo Edi, ternyata atas nama ayahnya.
Selain itu, kata Suryawati, tidak ada dalil hukum yang mewajibkan Tim Independen Pembebasan Lahan menyebutkan hasil survei harga dasar tanah kepada warga. Majelis hakim pun menilai tidak ada pasal yang menguatkan gugatan para penggugat.
Menyikapi putusan majelis hakim, para penggugat melalui kuasa hukumnya, Muhammad Syaiful Arif menyatakan banding.
Mereka tetap berkeyakinan bahwa sikap Tim Independen Pembebasan Lahan yang tidak bersedia membuka hasil survei harga tanah adalah perbuatan melawan hukum karena bisa merugikan para pemilik tanah. Akibat sikap tertutup tim tersebut, warga bersikeras menolak melepaskan tanahnya karena mereka tidak mengetahui harga sesungguhnya berdasarkan survei tim tersebut.
Muhammad Syaiful Arif mengatakan, ketentuan yang dilanggar tim adalah Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang mekanisme pembebasan lahan. Dalam pelaksanaannya, harga ganti rugi tanah ditentukan secara sepihak. "Warga tidak diajak bermufakat dalam menentukan harga," ujarnya.
Muhammad Syaiful Arif juga menyebut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, bahwa hasil survei merupakan dasar musyawarah untuk menentukan harga tanah. ”Sehingga hasil survei tim independen bukan rahasia negara, dan warga berhak mengaksesnya,” ucapnya. EKO WIDIANTO.