TEMPO Interaktif, Jakarta - Persoalan krusial yang masih mengganjal pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU DIY) adalah soal jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam masalah ini muncul dua opsi, yakni Gubernur DIY dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui penetapan. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu, yang menyatakan bahwa sistem yang akan dianut dalam pemerintahan DIY tak mungkin monarki, seolah menjadi sinyal bahwa pemerintah pusat menolak posisi Gubernur DIY dilakukan melalui penetapan.
Menurut Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri, pernyataan tersebut menunjukan bahwa Presiden Yudhoyono seolah lupa pada Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan keistimewaan untuk Yogyakarta. Di pasal tersebut dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Dasar itu pulalah yang menyebabkan mengapa tak pernah ada pemilihan walikota di lima wilayah kota Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Contoh lain, pada syarat otonomi khusus Papua yang menyebutkan Gubernur Papua harus orang Papua asli.
Ganjar yang juga politisi PDI Perjuangan ini mengusulkan pembicaraan soal keistimewaan DIY lebih tepat dengan mengundang stakeholder yang terkait Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut. "Nanti akan kita tanyakan ke Kesultanan, Paku Alaman, tokoh masyarakat, dan cerdik pandai soal aspirasi mereka," kata Ganjar yang dihubungi Tempo, Senin 29 November 2010.
Namun Ganjar belum mau memberikan pendapat soal kemungkinan terbaik dari persoalan keistimewaan DIY ini, sebelum menyerap berbagai aspirasi dari para stakeholder tersebut.
AMIRULLAH