Premi merupakan biaya yang dibayarkan importir gula dengan spesifikasi khusus. Selama ini premi sekitar US$ 70 per ton. Sebelum diimpor, produsen memproduksi sesuai kebutuhan Indonesia dengan tingkat kejernihan 70 (icumsa/IU)) sampai 200 (IU). Semakin rendah icumsa warna gula semakin putih. Sebelum membuat gula khusus Indonesia, produsen harus membersihkan dulu semua mesinnya. Sehingga ada tambahan premi.
Heinrich menambahkan, memang tidak ada korelasi langsung jika bea masuk diturunkan, lalu premi otomatis naik. "Tapi, mereka pedagang. Mereka akan memperhatikan kebijakan Indonesia. Jika Indonesia menunjukkan sangat butuh gula, artinya Indonesia mau membeli gula dengan harga berapa pun," ujarnya.
Wacana pembebasan bea masuk muncul ketika Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, mengeluhkan harga gula dalam negeri yang tergolong mahal. Kenaikan harga salah satunya dikarenakan tingginya harga gula dunia, yang saat ini US$ 727 per ton. Padahal, Indonesia berencana mengimpor gula sebanyak 450 ribu ton. Sehingga Sutarto ingin bea masuk dibebaskan untuk menurunkan harga di dalam negeri.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan harga gula rata-rata selama November mencapai Rp 11.026 per kilogram, lebih tinggi ketimbang harga Oktober sebesar Rp 10.944 per kg. "Agar tidak memberatkan konsumen, sementara ini kami minta bea masuk impor dibebaskan," kata Sutarto. Ia menjamin kebijakan itu tidak merugikan petani karena impor dilakukan saat petani tidak sedang dalam musim giling.
Rencana pembebasan bea impor didukung oleh perusahaan pelat merah. Menurut Corporate Secretary PT Perusahaan Nusantara XI, Adig Suwandi, jika bea masuk impor gula dibebaskan, maka harga gula akan lebih rendah. Dengan bea masuk, harga gula mencapai Rp 10 ribu per kg. Namun, bila tanpa bea masuk harga akan turun dengan selisih Rp 790 per kg. "Besaran selisihnya sudah cukup lumayan,” kata dia.
EKA UTAMI APRILIA