Keduanya disidangkan secara terpisah sebagai terdakwa kasus perkara pungutan liar pengurusan sertifikat tanah dalam Proyek Operasional Massal Pertanahan (Prona) 2009.
Jaksa penuntut umum mendakwa keduanya menerima dana secara tidak sah dalam proses pengukuran dan pengurusan sertifikat tanah di desanya masing-masing.
Perbuatan keduanya melanggar ketentuan sebagaimana dakwaan primer pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dakwaan subsider pasal 5 ayat 2 undang-undang yang sama.
Untuk dakwaan primer, kedua terdakwa sama-sama diancam pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sedangkan dakwan subsider, diancam pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal lima tahun serta denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 250 juta.
“Terdakwa melaksanakan hal yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu membentuk Kepanitiaan Prona yang mengumpulkan peserta Prona dan membebani biaya Rp 400 ribu per bidang tanah,” kata jaksa Nur Amin yang menangani perkara terdakwa Musolin. Menurut jaksa, Prona sudah dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009.
Dari 300 bidang tanah di Desa Plumpungrejo, terkumpul dana Rp 120 juta. Yang sudah digunakan untuk operasional pematokan, pengukuran, biaya transportasi, dan sebagainya mencapai Rp 84,52 juta dan tersisa Rp 27,9 juta yang dititipkan ke salah satu perangkat desa.
Adapun jaksa Wahyu Widoprapti yang menangani perkara terdakwa Tukiran mengatakan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan kewajibannya sebagai kepala desa dalam membantu masyarakat khususnya yang miskin dalam mendapatkan sertifikat tanah.
Dari 126 bidang tanah di Desa Banyukambang, terkumpul dana Rp 50,4 juta. “Tersisa Rp 18 juta yang diduga masih dipegang terdakwa, ini yang kami pertanyakan kemana dana tersebut,” ucapnya usai sidang.
Menanggapi dakwaan jaksa, penasihat hukum kedua terdakwa, Indra Priangkasa, menilai apa yang kliennya justeru membantu masyarakat dalam mendapatkan sertifikat tanah. “Ada hal yang lucu seperti pembelian ceret, galon aqua, memberi uang saku Sekdes dan lain-lain, apakah itu masuk kualifikasi tindak pidana korupsi. Yang dilakukan terdakwa ini untuk mensukseskan program pemerintah dalam memberikan kepastian hukum kepemilikan tanah. Bagaimana akan berjalan kalau masalah sepele seperti itu dipersoalkan,” paparnya. ISHOMUDDIN.