TEMPO Interaktif, Jakarta - Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta bukanlah bahasan baru di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan anggota dewan sebelumnya pernah membahas RUU tersebut, namun selalu tidak menemukan kata sepakat. Anggota Komisi II Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Ida Fauziah mengungkapkan, rancangan undang-undang itu terakhir dibahas bersama dewan pada 26 September 2009 lalu.
Kala itu, pemerintah bersikukuh bila jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta harus melalui pemilihan. “Sedangkan hampir seluruh fraksi, kecuali Demokrat, setuju kalau jabatan gubernur melekat pada Sultan,” kata Ida saat dihubungi Tempo, Rabu 1 Desember 2010.
Dan, saat tak mencapai kata sepakat itu, masa kerja anggota dewan periode 2004-2009 keburu habis. Karenanya, anggota dewan dan pemerintah kembali menggodok draft tersebut dari awal. Draft itu sendiri masuk dalam rancangan undang-undang yang pembahasannya diprioritaskan. “Tapi sampai akhir tahun, pemerintah belum menyerahkan rancangan undang-undang itu,” ujarnya.
Karena belum mengetahui konsep keistimewaan Yogyakarta yang dipilih pemerintah, fraksinya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa belum bisa menentukan sikap apakah mendukung penetapan gubernur atau pemilihan. “Tapi kalau sikap lama, kami menyetujui gubernur melekat pada sultan,” ujar Ida.
Polemik tentang apakah Gubernur DIY dipilih langsung atau ditetapkan ini semakin memanas sepakan terakhir ini. Polemik dipicu pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem pemerintahan di Provinsi DIY tak mungkin monarki, karena bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Pernyataan Presiden tersebut sontak memancing reaksi dari banyak kalangan. Baik dari Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri selaku Gubernur DIY, para anggota DPR serta rakyat Yogyakarta.
CORNILA DESYANA