TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap langkah Mahkamah Konstitusi melaporkan Refly Harun ke Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai upaya pembungkaman terhadap orang yang mencoba membongkar kasus dugaan korupsi. "Ini adalah kriminalisasi terhadap Refly Harun," ujar Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, Senin (13/12).
Sebelumnya, MK memutuskan melaporkan Refly Harun ke KPK atas dugaan percobaan penyuapan terhadap Hakim Konstitusi Akil Mochtar. Pelaporan ini dilakukan oleh MK lantaran Refly gagal membuktikan adanya suap terhadap Akil dalam sidang sengketa Pemilukada Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Refly pernah menuding adanya suap terhadap Hakim Konstitusi dalam sebuah tulisan Opini di media massa.
Kasus ini kemudian ditangani oleh tim investigasi yang diketuai oleh Refly sendiri. Namun, tim tersebut gagal membuktikan tudingan Refly. Namun, tim menemukan adanya indikasi permainan dalam kasus lain. Tim menemukan adanya indikasi permainan di tubuh Mahkamah yang diduga melibatkan anak dari Arsyad Sanusi, Nesyawati, dan seorang panitera Mahkamah, Makhfud. Arsyad adalah salah satu hakim Konstitusi. Dalam temuannya, tim mengatakan, Nesyawati pernah bertemu dengan calon Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Akhmad yang sedang berperkara di Mahkamah.
Donal mengatakan, bahwa pelaporan terhadap Refly Harun ini salah kaprah. Donal menilai Refly hanyalah orang yang mencoba membongkar kasus ini. "Opini yang dituliskan oleh Refly itu sebuah pesan yang mengingatkan bahwa adanya permainan di dalam MK," ujarnya. Menurut Donal, jika Mahkamah Konstitusi memang serius ingin membuktikan tidak adanya suap dalam institusi tersebut, mereka seharusnya mengadukan Arsyad dan Akil ke KPK. "Seharusnya bukan orang yang mau membongkar yang diadukan," ujarnya.
Pengaduan ini, menurut Donal, justru akan mencederai citra MK sendiri. " Jika demikian MK telah gagal dalam melindungi hak konstitusi warga negara yang seharusnya menjadi tugas mereka," tuturnya.
Febriyan