Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A) menyebutkan, antara tahun 2009 hingga Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang mengalami masalah hukum. “Sembilan puluh persen di antaranya dihukum dengan pidana penjara,“ kata Deputi KP3A Sutarti Sudewa dalam seminar “ Restoratif Justice“ di Denpasar, Kamis (23/12).
Saat ini di Indonesia hanya terdapat 16 Lapas yang kini menampung 2.357 napi anak. Sutarti mengatakan Kementerian Hukum dan HAM belum akan menambah jumlah Lapas Anak. Itu sebabnya, pendekatan Restoratif Justice yang memungkinkan dihindarinya hukuman badan bagi si anak harus menjadi alternatif.
Restoratif Justice adalah pendekatan dalam penanganan masalah hukum dengan mempertimbangkan masa depan pelaku maupun korban dalam sebuah kasus pelanggaran hukum. Pendekatan ini layak diterapkan kepada anak-anak karena mereka harus tetap mendapat kesempatan untuk memperbaiki dirinya di masa depan. Dasar hukum penerapannya adalah ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nnomor 36 Tahun 1990.
Dalam penerapannya, menurut Sutarti, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepolisian RI, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan. Namun di lapangan, masalah ini belum bisa diterapkan karena kurangnya koordinasi serta infrastruktur untuk memfasilitasinya.
Dia mencontohkan penyediaan Shelter Anak dan Rumah Singgah Perlindungan Anak (RSPA) yang merupakan program Kementerian Sosial, jumlahnya belum memadai. Saat ini baru terdapat 8 Panti Sosial dan RSPA di seluruh Indonesia. Jumlah Pekerja Sosial yang Profesional pun hanya 34 orang. ”Karena itu, kami membentuk Pokja Khusus untuk masalah ini,“ paparnya.
Terkait dengan masalah itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Bali Nyoman Masni meminta, agar SKB lebih cepat diterapkan. ”Anak-anak adalah masa depan bangsa, jangan sampai mereka rusak karena kesalahan kita dalam menangani mereka,“ ujarnya.
Dia menegaskan, mestinya anak-anak tidak boleh dijatuhi hukuman penjara. Sebab, bukan hanya merusak mental tetapi juga status sosialnya. Selama hidupnya, mereka akan terbebani oleh status mantan narapidana padahal kejahatan yang dilakukan sering tanpa kesadaran mereka. Perlindungan bagi mereka bahkan harus dimulai saat tersangkut kasus pelanggaran hukum.
Selama tahun 2010, LPAI BALI mencatat, terdapat 118 anak di Bali yang terlibat kasus hukum. Sebanyak 45 anak adalah sebagai pelaku dan 73 anak sebagai korban. Sebanyak 41 anak yang menjadi pelaku telah diadvokasi oleh LPAI dan mendapat penempatan di Lapas Anak atau di RSPA serta mendapat bantuan bersyarat agar dapat melanjutkan sekolahnya. ROFIQI HASAN.