TEMPO Interaktif, Jakarta -Harga minyak dunia diperkirakan akan terus melambung hingga menyentuh angka US$ 100 dolar per barel pada tahun depan. Kenaikan tersebut dikhawatirkan akan berimbas secara langsung kepada harga bahan bakar minyak di Indonesia terutama harga BBM non subsidi seperti pertamax.
Pengamat Perminyakan dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyatakan jka harga minyak naik hingga US$ 100 dolar per barel maka harga pertamax diduga akan naik hingga Rp 8.900. Pri juga menghitung, jika terjadi kenaikan harga minyak dunia sebesar US$ 1 per barel saja dari asumsi yang telah ditetapkan dalam APBN yaitu sebesar US$ 80 per barel, akan menyebabkan terjadinya defisit hingga sebesar Rp 500 miliar dalam anggaran.
Anggota Komisi Energi , Satya W Yudha, mengakui adanya kemungkinan anggaran yang jebol dan inflasi yang meningkat sebab kenaikan harga minyak dunia tersebut. Apalagi pada tahun depan pemerintah akan mulai memberlakukan program pembatasan BBM bersubsidi.
Akhirnya, menurut Satya, masyarakat akan terbebani karena kemungkinan mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk konsumsi bahan bakar minyak. "Yang semula pakai premium Rp 4.500, jadi harus pakai pertamax yang hampir Rp 9.000, berarti dua kali lipat keluar biayanya," katanya.
Oleh karenanya, agar tidak terlalu membebankan masyarakat, Satya menganjurkan alternatif penyediaan BBM jenis premium namun non subsidi untuk menghindari laju inflasi yang akan semakin deras dan jebolnya anggaran. "Kami menyarankan bahwa harus ada 3 jenis BBM di pasaran yaitu premium subsidi, premium nonsubsidi, dan pertamax. ini untuk menjembatani harga minyak yang terus meroket," ujarnya, Senin (27/12).
Berdasarkan perhitungannya, Satya memperkirakan harga BBM premium jika mengikuti nilai keekonomian hanya akan menyentuh angka Rp 5900 - Rp 6000 ,"Ini tidak akan terlalu berat bagi masyarakat, angka kejutnya tidak terlalu besar" jelas dia.
Penyediaan BBM non subsidi jenis premium tersebut, kata dia, bisa saja diproduksi oleh selain Pertamina jika berdasar dengan undang-undang migas pada saat ini yang belum direvisi."Ini bisa jadi bagian liberalisasi di sektor retail BBM kalau mengacu pada UU migas saat ini, kecuali nanti di revisi akan dibatasi," kata Satya.
GUSTIDHA BUDIARTIE