TEMPO Interaktif, Jakarta -Pemerintah mengakui kesulitan menyediakan premium non subsidi. Menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Darwin Zahedy Saleh mengatakan usulan itu perlu dikaji terlebih dahulu secara masak. Sebabnya penerapan di lapangan akan lebih sulit apabila terdapat perbedaan harga untuk produk serupa dan dijual di tempat yang sama. "Itu terlalu riskan," katanya ketika dihubungi Tempo semalam.
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Evita Herawati Legowo menilai penerapan perbedaan harga pada produk premium sangat sulit untuk diterapkan."Satu bahan bakar satu harga saja, beda premium dan pertamax nanti juga tidak terlalu jauh," kata Evita.
Untuk menghadapi kenaikan harga minyak, Anggota Komisi Energi , Satya W Yudha mengusulkan pemerintah menyediakan alternatif penyediaan BBM jenis premium namun non subsidi. "Kami menyarankan bahwa harus ada 3 jenis bahan bakar minyak di pasaran yaitu premium subsidi, premium nonsubsidi, dan pertamax. ini untuk menjembatani harga minyak yang terus meroket," ujarnya.
Bila dipaksa menggunakan pertamax, maka masyarakat akan terbebani sebab kemungkinan mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk konsumsi bahan bakar minyak. "Yang semula pakai premium Rp 4.500, jadi harus pakai pertamax yang hampir Rp 9.000, berarti dua kali lipat keluar biayanya," katanya.
Pengamat Perminyakan dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyatakan jka harga minyak naik hingga US$ 100 dolar per barel maka harga pertamax diduga akan naik hingga Rp 8.900. Pri juga menghitung, jika terjadi kenaikan harga minyak dunia sebesar US$ 1 per barel saja dari asumsi yang telah ditetapkan dalam APBN yaitu sebesar US$ 80 per barel, akan menyebabkan terjadinya defisit hingga sebesar Rp 500 miliar dalam anggaran.
GUSTIDHA BUDIARTIE