TEMPO Interaktif, Jakarta - Survei Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sepanjang Juli-Agustus 2010 di lima kota menunjukkan, Banda Aceh mempunyai indeks penyiksaan tertinggi.
"Total Indeks Penyiksaan sebesar 18,7 dari skala 30.0," kata Staf Divisi Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Edy Halomoan Gurning dalam pemaparan hasil penelitian Indeks Penyiksaan dan Indeks Presepsi Penyiksaan, di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu (29/12)
Total indeks tersebut mengukur tingkat penyiksaan tahanan ketika penangkapan, pemeriksaan, penahanan, hingga penghukuman. Posisi kedua setelah Banda Aceh diduduki Makassar dengan indeks 16.7, Jakarta (14.5), Lhokseumawe (13.6) dan Surabaya (10.1).
Survei pada 748 tahanan yang menjalani proses hukum sejak Januari 2009-Januari 2010 itu menunjukkan, kasus kekerasan yang terbanyak justru terjadi di Surabaya dengan prevalensi total 78,1 persen, tertinggi di antara empat kota. Bahkan survei menunjukkan 97,9 persen tersangka menerima penyiksaan sejak penangkapan hingga pemeriksaan.
Faktor pendorong terjadinya kekerasan, menurut Edy, terkait bukti. Aparat penegak hukum masih menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencari pembuktian.
Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Restaria Hutabarat memaparkan bahwa penyiksaan belum dianggap sebagai kejahatan dalam kerangka hukum di Indonesia. "Secara kultural, masyarakat dan aparat penegak hukum mentolerir penyiksaan," jelasnya. Sementara secara struktural tak ada mekanisme pengaduan yang efektif untuk mempersoalkan praktek penyiksaan.
Dianing Sari