Itu disebabkan sifat beras yang inelastis. Artinya berapa pun harga beras, masyarakat akan tetap membeli. Berbeda dengan cabai, yang kalau harganya naik masyarakat cenderung mengurangi volume pembeliannya. "Tidak ada pilihan lain. Malahan untuk golongan menengah atas, beras itu ada selera-selera tertentu yang tidak tergantikan. Sama dengan perokok, kalau biasa hisapnya satu merek tertentu, kalau ditawarin yang lain dia tidak mau. Beras pun begitu," kata Rusman.
Hingga akhir tahun, Rusman memperkirakan inflasi akan tembus melebihi 6 persen, bahkan bisa mencapai 6,5 persen. "Karena tidak ada deflasi. Perkiraan kita, angka inflasi di sekitar 6,5 persen. Bisa di atas atau di bawah itu sedikit. Namun, BPS kadang-kadang juga bisa salah, karena minggu ini masih kita kumpulkan data terakhir untuk Desember ini. Jadi masih ada pendataan di lapangan," kata Rusman.
Namun, inflasi tidak selamanya menunjukkan ada permasalahan. Menurut Rusman, inflasi bisa terjadi ketika ada dinamika ekonomi yang sedang berkembang. Contohnya, perbaikan ekonomi di beberapa negara yang menyebabkan permintaan akan barang menjadi naik. Tingginya permintaan dapat menyebabkan kenaikan harga yang kemudian memicu inflasi.
"Sama dengan Indonesia. Jangan kita bicara pertumbuhan ekonomi 7 persen, tapi inflasinya tetap mau di bawah 5 persen. Itu akan sulit, karena pertumbuhan ekonomi 7 persen akan cenderung menciptakan tambahan permintaan," kata Rusman.
EVANA DEWI