TEMPO Interaktif, Jakarta -Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan memperkirakan pertumbuhan industri plastik hilir tahun depan sedikit di bawah pertumbuhan tahun ini. Jika pertumbuhan tahun ini mencapai 7-8 persen, maka tahun depan kemungkinan hanya lima persen. "Kalau bisa tumbuh lima persen saja sudah bagus. Karena masih ada masalah pasokan bahan baku dan lainnya," katanya di Jakarta, Rabu (29/12).
Selain pasokan bahan baku, belum diterapkannya fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) dan tren kenaikan harga minyak mentah dunia ikut menekan industri plastik hilir. Tjokro mengatakan pasokan bahan baku dari dari dalam negeri masih tersendat. Akibatnya terjadi kesenjangan antara suplai dan permintaan.
Apalagi produksi pabrik Polytama saat ini terhenti karena ada masalah utang piutang dengan PT Pertamina (Persero). Rencana ekspansi Chandra Asri dan Tripolyta juga dinilai belum signifikan untuk meningkatkan suplai bahan baku.
Impor bahan baku plastik juga meningkat dengan berkurangnya suplai dari dalam negeri. Impor sebagian besar berasal dari Timur Tengah. Tjokro mengatakan impor polietilena (PE) dan polipropilena (PP) sampai akhir tahun ini diperkirakan naik sampai 50 persen menjadi lebih dari 780.000 ton. Tahun depan impor diprediksi masih cukup tinggi karena permintaan terus meningkat.
Kebutuhan domestik PE tahun depan diperkirakan naik menjadi 988.000 ton. Sementara tahun ini kebutuhan PE tercatat 840.000 ton. Kapasitas produksi diperkirakan tetap 770.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan PP tahun ini tercatat 955.000 ton dan diperkirakan akan naik menjadi 1, 21 juta ton. Kapasitas produksi PP naik dari 685.000 ton menjadi 905.000 ton per tahun.
Peraturan pemerintah juga dinilai berperan menekan industri hilir plastik, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.19/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-produk Tertentu (BMDTP). Tjokro mengatakan peraturan ini mengenakan tarif bea masuk impor bahan plastik sebesar 15 persen untuk negara-negara non-Asean.
"Kami berharap pemerintah mencabut fasilitas PMK No.19 tersebut," katanya. Proses untuk mendapatkan fasilitas BMDTP juga dinilai terlalu rumit sehingga penyerapan sampai saat ini masih rendah, hanya lima sampai enam perusahaan.
KARTIKA CANDRA