Dua pekan lalu, para penyelam Raja Ampat Divers memang menemukan bangkai paus di perairan Pulau Wai. Benjamin Kahn, ahli biota laut, memperkirakan hewan ini sudah mati sejak sepekan silam. Tuduhan para aktivis merujuk pada kejadian 13 November 2010, sekitar pukul 12.30 WIT, ketika tim sosialisasi Selat Dampier memergoki kapal yang sedang berada di perairan Pulau Senapan.
Empat orang berwajah asing itu turun ke speedboat dan menuju pulau. Mereka menyerahkan sisa tali sebanyak 10 gulung yang telah dipakai kepada penduduk. Kepada warga pulau, mereka mengaku baru saja selesai mencari minyak di Tanjung Makoi, dekat Selat Sagawin. Benyamin dan Muljadi dalam penelitiannya menyebutkan sejumlah perairan di Raja Ampat yang paling sering ditemui paus dan lumba-lumba. Antara lain di KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) Selat Dampier, perairan dalam di Selat Sagawin, dan di KKLD Kofiau.
Wilayah ini menjadi koridor migrasi dan tempat mencari makan yang sangat penting bagi dua hewan itu. Paus dan lumba-lumba terdaftar dalam IUCN Red List sebagai hewan-hewan yang langka atau terancam punah. Termasuk yang sangat langka, yaitu lumba-lumba bungkuk Indo Pacific (Indo Pacific humpback dolphin), yang terdapat di Raja Ampat. Ada juga paus baleen Papua, yang tinggal di kawasan ini.
Sebenarnya kekhawatiran pegiat lingkungan terhadap kegiatan survei seismik telah disampaikan kepada Bupati Raja Ampat. Pada surat tertanggal 3 Februari 2010, mereka mewanti-wanti pemerintah agar mewaspadai rencana salah satu perusahaan asal Kanada melakukan survei di Blok Kafiau. Dua pekan sebelumnya, perusahaan ini telah memaparkan rencananya kepada Bupati Raja Ampat, wakil dari The Nature Conservancy (TNC) dan masyarakat. Perusahaan ini telah mengantongi izin survei dari Kementerian Pertambangan dan Energi pada Mei 2009.
Ternyata, pada 27 Januari 2010, ada surat elektronik yang dikirim seorang operator selam. Dia menyaksikan kapal bernama "Seamezen" sedang memasang kabel-kabel di daerah Efpian-Daram di Misol Timur Selatan untuk survei seismik atas nama sebuah perusahan bernama "TGS". Para penyelam itu diberi informasi agar berada dalam jarak sekurangnya 10 mil laut (18,5 kilometer) atau 15 mil laut (27,8 kilometer) dari tempat survei. Menurut Albert, tidak ada informasi apakah perusahaan ini memiliki izin atau tidak dan untuk blok yang mana.
Menurut Mark Erdmann, penasihat senior Program Kelautan Conservation International Indonesia, survei seismik dapat melukai atau membunuh paus dan umba-lumba. Gelombang suara yang begitu kuat untuk memetakan dasar laut dan mencari tahu apa yang terdapat di bawahnya, ibarat palu godam yang memukul-mukul kepala hewan ini. Maklum, paus dan lumba-lumba sangat sensitif terhadap suara. "Otaknya dapat rusak, yang akhirnya bisa gila ataupun langsung mati," kata Erdmann.
Mamalia laut, seperti paus dan lumba-lumba, memang sangat bergantung pada suara untuk mengikuti jalur migrasi, mendapatkan mangsa/makanan, menghindar dari pemangsa, dan berkomunikasi satu dengan lainnya dalam jarak yang sangat jauh. Survei seismik mengeluarkan gelombang-gelombang suara yang akan mengganggu hewan-hewan ini dan pola-pola makan serta migrasi.
Hewan-hewan tersebut dapat menjadi salah arah dan menunjukkan gejala menghindar atau perilaku stres yang diperkirakan mencapai 7-12 kilometer dari sebuah sumber seismik yang besar. Apabila gelombang seismik dilakukan dengan intensitas tinggi dan frekuensi rendah, gelombang suara dari survei seismik dapat menyebabkan paus terdampar. Pedoman dari pemerintah Kanada menyebutkan bahwa dampak berbahaya dapat terjadi pada paus dan lumba-lumba akibat gelombang suara 160-180 desibel. Penyu diketahui dapat terkena dampak dalam jarak sampai 2 kilometer dari sumber seismik.
Jurnal Biology Letters memaparkan penelitian tentang paus biru di lepas pantai Kanada. "Survei seismik bawah laut mempengaruhi komunikasi paus," kata Lucia Di Ioro dari University of Zurich. Pada awal 2009, perusahaan yang terlibat dalam konsorsium Sakhalin Energy sepakat menghentikan pekerjaan seismik. Hal itu terjadi setelah merosotnya populasi paus di wilayah eksplorasi mereka.
Penelitian lain menyebutkan bahwa gelombang suara pada atau lebih besar dari 180 desibel menyebabkan kematian ikan dan dapat berpengaruh sampai jarak 2-5 kilometer dari sumber seismik. Dampaknya bagi ikan dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu lethal (langsung mematikan) dan sub-lethal (dampak kematian secara perlahan).
Jika ikan dewasa, larva, atau telur ikan berada dekat dengan sumber seismik, kurang-lebih 10 meter, mereka bisa langsung mati. Pengaruh sub-lethal, termasuk di dalamnya kerusakan pada telinga ikan, kantong renang, mata, dan organ-organ dalam lainnya, akan mempengaruhi kemampuan berenang mereka dan membuatnya sangat rentan terhadap penyakit dan predator.
Kerusakan organ pada ikan dapat tertunda, tapi bisa menyebabkan kematian beberapa waktu kemudian setelah kegiatan seismik berhenti. Ikan-ikan karang akan menjadi rentan karena mereka tinggal hanya di habitat khusus di terumbu karang. Sangat sedikit yang diketahui mengenai dampak terhadap hewan-hewan laut lain, seperti zooplankton dan cumi-cumi, yang berperan yang sangat penting dalam memberi makan ikan-ikan laut.
Invertebrata lainnya, seperti lobster dan kerang-kerangan, tampaknya tidak terpengaruh oleh survei seismik. Riset yang lebih jauh diperlukan untuk mendapatkan pengertian penuh tentang dampak-dampak jangka panjang dan pendek terhadap populasi ikan, khususnya dampak-dampak sub-lethal. Air gun yang digunakan selama survei seismik ini menyebabkan merosotnya tangkapan ikan di Norwegia sebesar 45-70 persen.
Menurut Albert, merosotnya populasi ikan berpengaruh bagi masyarakat Raja Ampat. "Ikan adalah sumber penghidupan dan makanan utama bagi masyarakat setempat di Raja Ampat," katanya. Tak hanya itu, survei seismik juga berpengaruh terhadap industri pariwisata selam. Padahal sektor pariwisata telah menjadi unggulan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Maklum, terumbu karang di wilayah ini merupakan salah satu yang paling lengkap dan indah di dunia.
Albert menjelaskan bahwa survei seismik di dalam atau di dekat KKLD berlawanan dengan komitmen dari masyarakat dan pemerintah daerah yang telah dibuat. "Mereka berjanji melindungi keanekaragaman hayati, sumber daya perikanan, dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang," katanya. Menurut dia, survei seismik harus meminimalkan dampak lingkungan dan kelestarian biota laut. Jika lalai, paus dan hewan lain yang dilindungi akan menjadi korban.
UNTUNG WIDYANTO | PACIFICWHALE.ORG | BBC
Merobek Gendang Telinga
Survei seismik dilakukan di laut dalam oleh industri yang mencoba menemukan cadangan minyak dan gas bumi di dasar laut. Survei menggunakan kapal khusus yang berukuran besar, dilengkapi dengan kabel-kabel yang dapat menembakkan peluru udara (air gun) dengan gelombang suara yang sangat kuat di dasar laut untuk mendapatkan gambaran struktur dan formasi geologis bawah laut. Tembakan udara ini dapat terjadi setiap 6-20 detik dan dapat berlangsung terus sampai 24 jam.
Kabel biasanya ditempatkan pada kedalaman 5-10 meter. Gelombang-gelombang suara itu dapat menembus tanah sampai 10 kilometer dari dasar laut. Intensitas suara bisa mencapai 241-265 desibel. Dengan intensitas yang separuh saja (misalnya 125 desibel) sudah dapat merobek gendang telinga manusia.
Selain survei seismik oleh perusahaan tambang, polusi suara di dalam laut berasal dari SONAR dan kapal komersial besar. Angkatan Laut menggunakan SONAR untuk operasinya. Dua kali dalam setahun, Angkatan Laut Amerika Serikat melakukan latihan perang di Samudra Pasifik. Selama 532 jam latihan, kebisingan akustik di dalam lautan kekuatannya melebihi 235 desibel.
Pada 2004, ketika berlangsung latihan perang tersebut, sekitar 150-200 paus berkepala melon terdampar di Hanalei Bay. Satu ekor paus sekarat. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengakui peristiwa itu akibat SONAR yang digunakan dalam latihan perang.
PACIFICWHALE.ORG