"Revisi KUHAP sebenarnya sudah dilakukan sejak Agustus 2007," ujar anggota koalisi Wahyudi Jaffar dalam jumpa pers di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Minggu (9/1).
Wahyudi menyatakan, mandeknya revisi KUHAP dan KUHP karena presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mau mengambil sikap. "Presiden sampai saat ini belum menunjuk siapa yang akan menjadi wakil pemerintah saat pembahasan di DPR," ujarnya.
Mandeknya revisi kedua undang-undang itersebut, menurut Wahyu, berpotensi untuk dijadikan bahan tawar menawar politik pada pemilu 2014. "Setiap orang yang menjadi Menteri Hukum dan HAM di era reformasi selalu menjanjikan revisi KUHAP dan KUHP sebagai prioritasnya, tapi tidak ada satu pun yang bisa menyelesaikannya," tutur Wahyudi.
Gatot Goei, yang juga anggota koalisi, menyatakan KUHP dan KUHAP sudah tidak lagi memadai untuk digunakan saat ini. Terbukti, banyaknya kriminalisasi perkara, juga tindak kekerasan yang dilakukan aparat dalam proses pidana. "Ini mencerminkan lemahnya jaminan Hak Asasi Manusia di dalam KUHAP," paparnya.
Itu sebabnya KMS mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembahasan revisi dua undang-undang tersebut.
Beberapa hal penting yang perlu menjadi catatan dalam revisi kedua undang-undang itu adalah perspektif pemidanaan. "Konsep pemidanaan harus lebih berperspektif HAM dan keadilan," ucapnya.
Sisi lain yang juga penting adalah soal keterbukaan informasi. Selama ini, pihak kepolisian dan juga rumah tahanan cenderung tertutup untuk untuk memberikan informasi tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana. "Akibatnya, praktek-praktek kekerasan dalam penjara seringkali tak terungkap ke publik," ujarnya.
Ketertutupan akses informasi membuka peluang terjadinya praktek korupsi antara aparat penegak hukum dengan narapidana. "Misalnya terkait pemberian remisi, perlakuan istimewa terhadap Ayin, praktek perjokian, dan juga plesirnya Gayus," kata Gatot. FEBRYAN.