“Sudah bertahun-tahun kami tidak beli cabai di pasar, karena sudah tersedia di halaman rumah,” kata Eva, Minggu (9/1).
Siang itu, bersama putrinya Maharani Pembayun, Eva sedang memanen cabai yang di sana sini sudah memerah. Tempo memperkirakan, pohon cabai itu bisa menghasilkan ratusan ribu rupiah mengingat harga cabai melambung hingga tembus Rp 100.000 di supermarket. Bayangkan, dengan harga Rp 10.000, cabe rawit yang dibeli tak lebih dari 30 biji saja. “Wah kalau dijual dapet berapa ratus ribu ya,” kata Maharani dengan nada bercanda.
Ibu dan anak ini memang sama-sama doyan bercocok tanam. Tak hanya cabai yang mereka tanam, bahan bumbu masak seperti daun salam, daun jeruk, daun kemangi, dan daun pandan menyeruak di antara tanaman bunga yang memenuhi halaman rumah seluas 600 m2 di Dusun Pringwulung, Sleman, Yogyakarta itu.
Praktis, ketika masyarakat gonjang ganjing dengan harga cabai, yang melambung, tak berpengaruh pada keluarga mereka. “Kalau masak tinggal ambil di kebun sendiri, kami sudah mandiri sejak dulu,” kata Eva.
Bercermin pada pengalaman keluarganya yang menanam kebutuhan bumbu masak di lingkungan rumah, maka Eva mempraktekkan kebiasaan itu saat berkeluarga. Lahan tak dijadikannya alasan untuk bercocok tanam. “Dulu waktu rumah kami seluas 120 meter persegi, saya juga menanam kok,” katanya. Hasil kemandiriannnya pun membuahkan hasil. Eva tak terpengaruh dengan cabai yang harganya terus melambung.
Tak hanya itu, filosofi menanam kebutuhan bumbu itu tak sekedar hanya soal memenuhi kebutuhan dapur. Menanam bumbu dapur, bagi Eva, juga menghidupkan persaudaraan dengan tetangga. “Kami terbiasa bertukar bumbu,” katanya. Hasilnya, hubungan antar tetangga semakin akrab.
BERNADA RURIT