Kata Jurhum, Febri pada Agustus lalu sempat menyatakan Sisminbakum murni merupakan investasi swasta. Tidak ada uang negara yang ditanamkan dalam proyek itu, sehingga tidak ada kerugian negara. "Hasil kajian ICW itu sama dengan putusan kasasi MA dalam perkara Romli Atmasasmita yang muncul belakangan," tuturnya.
Karena itulah ia heran dengan pernyataan Febri, dimuat Tempo Interaktif petang ini, yang mendesak Kejaksaan Agung meneruskan perkara Yusril. Jurhum menduga ada pihak lain yang mendesak Febri membuat pernyataan itu.
Dengan keluarnya putusan kasasi Romli, ia berpendapat sudah tidak ada alasan bagi Kejagung untuk meneruskan perkara ini. "Kejagung tidak mungkin membuat dakwaan baru kepada Yusril, karena dia didakwa melakukan perbuatan bersama-sama dengan Romli," katanya.
Maka jika Romli dilepaskan dari segala tuntutan hukum dalam melaksanakan kebijakan Pemerintah yang diambil dalam sidang kabinet, dan kebijakan Yusril selaku Menteri Kehakiman, maka pembuat kebijakan juga harus dilepaskan dari tuntutan hukum. Apalagi, dalam doktrin dan yusrisprudensi hukum Indonesia, kebijakan Pemerintah tidak dapat dinilai oleh pengadilan.
Dalil Febri bahwa jaksa harus kuat menghadapi opini para pakar dan politisi yang meminta kasus Yusril dihentikan dan minta Jaksa Agung Basrief agar tidak diintervensi dinilainya tak beralasan. "Bukan Basrif yang bertanggungjawab menyatakan Yusril sebagai tersangka, bahkan mengkriminalisasi Sisminbakum. Itu adalah keputusan Hendarman Supandji," ujar Jurhum.
Menurutnya, Basrief justru harus mengevaluasi secara menyeluruh kriminalisasi Hendarman terhadap Sisminbakum. Kalau memang langkah Hendarman dinilai salah, Basrief tak perlu segan-segan untuk bersikap lain, apalagi setelah ada putusan kasasi MA tentang Romli.
Ia berpendapat Kejaksaan Agung tak boleh didesak-desak untuk melimpahkan perkara ini ke pengadilan dengan prinsip benar atau salah serahkan saja ke pengadilan. Jurhum mengatakan pengadilan bukanlah tempat sampah untuk melempar tanggung jawab.
BUNGA MANGGIASIH