Sebelas tokoh nasional itu masing-masing Syafii Maarif, Solahuddin Wahid, Natan Setiabudi, Putut Prabantoro, Bambang Ismawan, Kasturi Sukiadi, Parni Hardi, Wisjnubroto, Theresia Kristianty, Sudrajad, dan Teguh Santosa.
Deklarasi dilakukan di Gedung Stovia, Museum Kebangkitan Nasional, dan dibuka dengan acara diskusi kebangsaan bertema 'Kepemimpinan di Tengah Bencana'.
GIN sengaja memilih tanggal 11 Januari 2011 (11-1-11) sebagai tanggal kelahiran, yang bermakna satunya mulut, mata, pikiran, hati, dan semangat.
GIN menilai, permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini yakni rendahnya tingkat integritas bangsa, terutama di kalangan pejabat publik. "Integritas adalah sikap jujur dan kebenaran moral yang kuat," kata Solahuddin, salah seorang pendiri GIN.
Solahuddin, yang akrab disapa Gus Solah, mencontohkan banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Puluhan di antaranya bahkan sedang diperiksa aparat hukum. "Yang sudah terdakwa saja akan dilantik dan melantik. Dimana letak integritasnya," ujarnya.
Gus Solah mengatakan, GIN didirikan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan falsafah Indonesia sebagai negara hukum. Hukum seharusnya menjadi pemimpin yang berkuasa, dan semua pihak harus tunduk pada hukum dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi.
"Tegaknya hukum tergantung substansi, aparat, budaya, dan sarana serta prasarana hukum. Lha hakim Tipikor saja malah santun pada koruptor," ujar Gus Solah pula.
Bekas Panglima TNI, Endriartono Sutarto, yang juga hadir dalam acara diskusi mengatakan, bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami masa transisi dari rejim otoratarian ke demokrasi. Perubahan ini seharusnya dapat memberikan harapan masa depan kepada bangsa untuk menjadi lebih baik.
Namun, sampai saat ini belum banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat, kecuali kebebasan. "Padahal kebebasan bukan itu satu-satunya kebutuhan," ucapnya.
Endriartono mengatakan, sebagian keberhasilan yang diklaim pemerintah memang ada benarnya. Namun, banyak hal lain yang masih bisa diperdebatkan. Apalagi, jika melihat kenyataan yang dijumpai di masyarakat sekarang, maka klaim pemerintah sebenarnya masih jauh dari harapan, "Bahkan terkesan kemunduran," paparnya.
Endriartono mencontohkan bagaimana penegakan hukum di negeri ini sudah mencapai titik nadir. Seluruh lembaga hukum mulai dari tingkatan terendah sampai tertinggi sudah bobrok sehingga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. "Pernyataan (Presiden SBY) tidak memiliki hak untuk intervensi, padahal dia punya kewajiban agar penegakan hukum berjalan lancar," tuturnya.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang menimpa sebagian besar kepala daerah di Tanah Air. Dari seluruh pesakitan kasus korupsi di KPK, kata dia, sebanyak 80 persen di antaranya adalah kepala daerah. Dan menurutnya hal itu menjadi wajar lantaran biaya yang tinggi selama kampanye dan pendapatan kepala daerah yang tidak sepadan.
"Saat ini korupsi bukan hal yang memalukan, karena banyak mantan tahanan korupsi diterima kembali oleh masyarakat asal masih memiliki uang," katanya.
Sementara itu, pendiri Maarif Institute, Buya Syafii mengatakan, negara ini sedang berantakan, tapi pemimpinnya justru enak-enakan. Bahkan, lanjutnya, pernah ada seorang duta besar sebuah negara dari Eropa Barat mengatakan bahwa pemerintah sekarang tidak akan bertahan sampai 2014. "Ini artinya semua sedang mengepung negara ini. Hukum dan politik pun memang sedang rusak," urainya.
Buya menegaskan agar pemerintah segera introspeksi diri untuk memperbaiki kondisi karut marut bangsa Indonesia saat ini. Jika tidak, masyarakat harus didesak untuk membuat perubahan, tapi harus melalui jalur yang konstitusional. "Apakah harus menunggu 4 tahun lagi? Tapi kami tidak setuju ada kudeta, karena pasti akan berdarah-darah," ujarnya. MAHARDIKA SATRIA HADI.