Dia merasa, hampir empat tahun dia sudah bekerja dengan kemampuan terbaiknya, tapi tak ada tanggapan balik terhadap kinerjanya. Padahal dia berharap banyak ada tanggapan mengenai kinerjanya, baik atau buruk.
Atasan di kantornya juga mengaku tak tahu penilaian kerjanya. "Saya kecewa. Kalau begini, bisa habis waktu saya," kata dia. Bahkan, dari rasa kecewanya ini, hubungan dengan atasannya memburuk. Dia menganggap, jika memang tak cocok dengan pekerjaan yang sekarang ini, dia bisa beralih profesi.
Menurut Dr Surjo Dharmono, SpKJ, Koordinator Psikiatri Komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, depresi itu tak hanya menyerang Diana. Faktor eksternal di lingkungan kerja, seperti kualitas budaya perusahaan (corporate culture), akan mempengaruhi tingkat depresi karyawan.
"Budaya perusahaan yang buruk juga akan membuat karyawannya depresi," kata dia dalam sebuah seminar di Jakarta. Budaya perusahaan yang buruk ini, misalnya, sanksi-ganjaran yang tak jelas, aturan kerja yang kabur, atau beban kerja yang berlebih. Dr Surjo menyatakan mereka yang memiliki pekerjaan tak rutin cenderung mudah depresi. "Aturan kerja yang jelas bisa menangkal datangnya depresi pada pegawai," kata dia.
Depresi adalah salah satu jenis stres. Adapun stres merupakan respons mental seseorang dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Dalam kadar tertentu, stres diperlukan untuk menyiapkan individu menghadapi ancaman. Ini disebut stres positif atau eustress. Sebaliknya, stres yang berlebihan atau berkepanjangan akan merugikan individu, menambah penderitaan. Ini disebut stres negatif atau distress. Wanita seperti Diana lebih mudah terserang stres atau depresi. "Wanita lebih mudah terkena karena faktor hormonal," kata dia.
Depresi disebabkan oleh dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal mencakup pengalaman buruk masa lalu, kepribadian, dan faktor keturunan. Dalam faktor keturunan, jumlah hormon tertentu diwariskan. Perubahan kimiawi hormon menyebabkan kecemasan berlebih (anxietas). Faktor eksternal meliputi konflik keluarga, konflik pertemanan, perasaan kecewa dan kehilangan. "Depresi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal. Sedangkan anxietas lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal," kata dia.
Kecemasan berlebih jika tak dikonsultasikan akan berkembang menjadi depresi. Jika depresi tak mengganggu kehidupan sehari hari, bisa ditangani dengan konseling. Namun, jika lebih berat tarafnya, perlu pengobatan.
Meski tak terlihat layaknya masalah kesehatan yang menyerang fisik, depresi pada pegawai juga harus ditangani dengan baik. Sebab, bagaimanapun, kondisi depresi pada pegawai bisa berdampak pada produktivitas kerja dan suasana kerja mereka dengan rekan sejawat.
Gejala depresi memang bisa tampak seperti gejala kecemasan berlebih. Sebab, gejala depresi tumpang-tindih dengan gejala kecemasan berlebih, seperti gangguan tidur, kelelahan, tak bisa konsentrasi, merasa bersalah hingga muncul ide bunuh diri.
Namun depresi bisa dilihat dengan gejala yang lebih kuat, yakni sedih, minat menurun, nafsu makan kurang, merasa tak berdaya, dan putus asa. "Perasaan sedih atau murung ini biasanya tanpa sebab dan muncul di pagi hari atau saat bangun tidur," kata dia.
Kesenangan yang biasa dilakoni, seperti menonton televisi, juga berkurang. Bersosialisasi atau kongko dengan sejawat mulai tak menarik, hingga suka mengurung diri di kamar.
Depresi yang berkepanjangan dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang penyakit atau lambat sembuh dari sakit. Kemampuan seksual menurun hingga mempengaruhi metabolisme gula darah. "Saat stres, tubuh akan memecah gula darah. Itu sebabnya, saat stres, pasien diabetes, gula darahnya akan tinggi meski sudah minum obat diabetes," Dr Surjo menjelaskan.
I NUR ROCHMI