TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat energi, Kurtubi, menilai program pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi pada April nanti sama dengan menaikkan harga bahan bakar secara terselubung. Sebab, masyarakat pemilik kendaraan pelat hitam tidak memiliki alternatif membeli bahan bakar selain oktan tinggi yang harganya cenderung naik mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Pembatasan Premium itu juga dinilai tidak elegan. “Pemerintah bilang tidak menaikkan harga Premium, tapi masyarakat dipaksa beralih ke Pertamax,” katanya pada Tempo.
Apalagi pemaksaan rakyat membeli Pertamax itu artinya kembali menerapkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Beleid yang menyebutkan harga BBM dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar ini telah direvisi Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Sebab, harga BBM yang termasuk hajat hidup orang banyak, menurut Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya tidak dilepas ke pasar. Dengan memaksa rakyat membeli Pertamax, menurut Kurtubi, berarti pemerintah melanggar konstitusi.
Selain itu, ia menilai program pembatasan ini tidak visioner karena konsumen tidak beralih dari bahan bakar minyak. Semestinya, pemerintah mendorong peralihan dari penggunaan minyak ke gas atau bahan bakar nabati yang sebetulnya sudah digagas sejak lama. “Karena tren produksi minyak kita sudah lama anjlok.”
Sebagai solusi, Kurtubi mengusulkan untuk menghapus subsidi Premium secara bertahap. Harga jual Premium setara dengan biaya pokok produksi yang ditentukan pemerintah dua kali setahun setelah mempertimbangkan prediksi harga minyak dunia tahunan. Dalam hitungannya, biaya pokok produksi Premium saat ini sebesar Rp 6.300 per liter, pada saat harga minyak mentah berkisar US$ 90 per barel dan kurs Rp 9.000 per dolar Amerika.
Pemerintah juga diminta segera membangun infrastruktur untuk peralihan konsumsi bahan bakar minyak ke gas. Caranya dengan menghubungkan sumber-sumber gas dari receiving terminal ke kelompok konsumen, seperti pul taksi, bus kota, bus Transjakarta, bajaj, atau di sebelah SPBU yang punya lahan kosong.
R. R. ARIYANI