Abdul menerangkan, dirinya sudah mempermasalahkan peruntukan tanah ini sejak empat tahun lalu. Pada 30 September 2007, pihaknya dengan persetujuan Lembaga Wakaf NU, membuat surat ke Biro Hukum DKI Jakarta, yang intinya meminta pengembalian tanah atau kompensasi ganti rugi. "Tapi sampai sekarang tidak ada realisasi dari Pemprov DKI," ungkapnya.
Abdul meyakini, tanah ini bukanlah aset Pemerintah Jakarta dan harus segera dikembalikan. Dia memegang Girik tanah tersebut dari ayahnya yang bernama Haji Muhayar Bin Haji Sayidan, sebagai bukti kuat kepemilikan. "Girik ini ada sejak 1959," lanjutnya. Abdul mengakui, Girik bukanlah tanda bukti kepemilikan, tetapi tanda bukti pembayaran pajak. "Namun Girik bisa membuktikan bahwa pemegang dokumen tersebut adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah tersebut, dan berhak atas tanah," tekannya.
Dia bercerita, pada 1956, ayahnya Muhayar membangun madrasah bernama Tarbiatul Islam Nahdatul Ulama. Pada 1984, tanah seluas 1300 meter di Jalan Bekasi Raya kilo meter 23, Cakung Timur, Cakung, Jakarta Timur itu, dipinjamkan ayahnya ke Pemda untuk dibangun dua sekolah dasar (SD). "Jadi, SD 01 masuk pagi, sementara SD 07 masuk siang. Sekarang bangunan sekolah itu sudah dua lantai," kata Abdul, yang tinggal di Tebet itu.
Abdul menyatakan, sebenarnya Biro Hukum DKI Jakarta sudah mengakui tanah ini adalah aset NU. Usulan biro hukum DKI untuk mengembalikan aset tanah ini sudah dioper ke pihak Wali Kota Jakarta Timur untuk realisasi pengembalian tanah. "Namun asisten tata prajanya tidak bergerak. Sampai sekarang juga tidak ada pembicaraan," urainya.
HERU TRIYONO