TEMPO Interaktif, Jakarta - Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengaku pesimistis program REDD plus (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) atau pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan akan berjalan dengan baik di wilayahnya sebagai provinsi percontohan. Pasalnya hingga saat ini pemerintah pusat belum mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Penegasan ini diungkapkan Teras Narang saat berdialog dengan pimpinan Save Our Borneo dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kamis (20/1).
Menurutnya, ditunjuknya Kalimantan Tengah oleh Presiden sebagai provinsi percontohan pelaksanaan REDD plus adalah merupakan sesuatu amanat nasional yang harus segera dijalankan dan mendapatkan dukungan dari semua pihak termasuk non-government organization (NGO).
"Namun yang mengganjal di pikiran saya, hingga saat ini pemerintah pusat belum mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang merupakan salah satu acuan untuk pelaksanaan di lapangan. Karena itu saya merasa pesimistis apakah program ini bisa segera berjalan," ujarnya.
Padahal, menurut Teras Narang, dengan ditunjuknya Kalimantan Tengah untuk melaksanakan REDD plus maka ada beberapa keuntungan yang nantinya akan diraih, antara lain Kalimantan Tengah akan mendapat benefit yang cukup positif terutama terkait dengan penataan. Selain itu juga untuk mengintegrasikan data maupun izin yang menyangkut kawasan hutan seperti untuk pertambangan dan kehutanan.
"Karena itu kami harapkan dengan ditunjuknya Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan pelaksanaan REDD plus bisa mempercepat penyelesaian RTRWP," tegasnya.
Menurut Ari Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, mengatakan perubahan iklim itu 80 persen dihasilkan oleh negara maju dan Indonesia yang disuruh menanggung beban akibat industri mereka dengan iming-iming uang. "Walhi dari dulu selalu mengusulkan agar dilakukan moratorium kayu," ujarnya.
Karena itu, tambahnya, akan lebih baik bila pemerintah daerah melakukan moratorium untuk perizinan baik perkebunan kelapa sawit, pertambangan atau hak pengusahaan hutan (HPH). "Harus di-stop dulu pemberian izinnya untuk kemudian dilakukan evaluasi,"ujarnya.
Menurutnya saat ini jumlah kawasan di Kalimantan Tengah yang sudah di digunakan untuk izin perkebunan kelapa sawit mencapai 4,6 juta hektare (Ha), izin tambang 4 juta Ha dan Izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 3 juta Ha, sedangkan jumlah hutan primer (virgin forest) hanya berkisar 10 persen.
"Rata-rata perizinan itu ada yang masa berlakunya baru habis pada tahun 2050," terangnya.
Hal yang sama ditegaskan oleh Nordin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB). Dia mempertanyakan mengapa harus Indonesia yang mengurangi emisi sementara negara utara tidak mengurangi industrinya.
"Selain itu dalam hukum dagang biasanya yang menentukan harga itu adalah penjual (Indonesia) tapi justru mengapa mereka (Norwgia) yang menentukan harganya. Ini jelas menyinggung rasa keadilan,"ujarnya.
Untuk itu, menurut Nordin, sebaiknya pemerintah daerah lebih berhati-hati untuk menindaklanjuti pelaksanaan program REDD plus di Kalimantan Tengah.
"Jangan sampai di kemudian hari justru menjadi masalah, terutama untuk masyarakat sekitar kawasan hutan," tandasnya.
KARANA WW