TEMPO Interaktif, Jakarta - Kasus penyiksaan warga Puncak Jaya, di Papua, diduga sebagai operasi tersistematis yang dilakukan oknum TNI. Dugaan itu disampaikan Haris Azhar, Koordinator Eksekutif Nasional KontraS dalam keterangannya kepada wartawan di kantor Kontras, Jakarta, Sabtu (22/1).
" Penyiksaan itu berlangsung selama tiga hari. Dari 30 Mei - 2 Juni 2010 itu jelas terorganisir" kata Haris.
Salah satu korban peristiwa itu, kata Haris adalah korban bernama Tunaliwor Kiwo, warga Puncak Jaya, Papua. Haris merujuk dua fakta yang ditemukan Kontras. Pertama, rekaman hanphone yang kemudian diunduh ke Youtube, adalah bahan laporan oknum TNI yang melakukan penyiksaan kepada atasannya.
Kemudian, dari laporan itu seharusnya komandan regu bisa menghentikan penyiksaan namun dibiarkan. "Pertanyaan kami, kenapa Negara malah membiarkan," kata Haris menyesalkan.
Kedua, fakta lainnya terlihat dari testimoni Tunaliwor Kiwo, yang sampaikan lewat media asing. Saat itu, Tunaliwor dikurung di pos Kalome, dia mengaku mendengar anggota TNI yang melakukan penyiksaan memberi kabar melalui handytalky kepada rekannya di pos Tingginambut, dan pos Puncak Senyum.
Dalam pembicaraan itu, korban berencana dieksekusi mati pada pukul 09.00 pagi. "Mereka, oknum TNI ini saling berkoordinasi saat melakukan kekerasan," kata Markus Halo, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia.
Kekerasan di Puncak Jaya melibatkan 3 anggota TNI Batalion 753 AVT/Nabire Kodam XVII/Cendrawasih. Tiga orang terdakwa sedang menjalani pengadilan militer di Jayapura, yaitu, Serka Dua Irwan Riskianto, dituntut 9 bulan. Prajurit Satu Thamrin Makangiri dituntut 10 bulan, dan Prajurit Satu Yakson Agu dituntut 12 bulan.
Hamluddin