Kebijakan pemerintah daerah dinilai memicu pelanggaran HAM. Diantaranya melalui peraturan daerah yang mengancam sektor informal (pedagang kaki lima, nelayan dan petani) serta Perda-Perda syariah. Penilaian itu dilontarkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat (21/1) lalu.
Menurut Gamawan, ada beberapa hal yang bersifat lokal terkadang harus dihormati. Ia mencontohkan di Bali, dimana ketika hari raya Nyepi berlangsung tak ada yang boleh menyalakan api, bahkan pesawat pun tidak boleh terbang (take off). "Itu kan harus kita hormati. Tapi yang menyeluruh, seperti kalau ada kekhususan tertentu yang tidak mengganggu yang lain, menurut saya boleh saja," ujarnya.
Ia juga mencontohkan, misalnya di suatu daerah masyarakatnya sampai 100 persen beragama tertentu, lalu disana ada Perda yang bersifat menganjurkan, menurut dia tidak menjadi masalah. "Tapi kalau misalnya (aturan Perda) tidak dikerjakan lalu dihukum, tidak seperti itu. Kan Perda (hanya) menganjurkan," kata dia.
Hal yang tidak diperbolehkan, menurut Gamawan, adalah jika Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi. "Nah itu yang tidak boleh," ujarnya.
Saat ini Kementerian Dalam Negeri sedang mengevaluasi sekitar 3000 Perda bermasalah. Kewajiban evaluasi menjadi peluang untuk melakukan perbaikan terhadap kekeliruan, baik yang bersifat pelanggaran aturan yang lebih tinggi maupun yang tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Baca Juga:
MUNAWWAROH