Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Penabur Harapan Si Hilang Ingatan

image-gnews
Reuters/Beawiharta
Reuters/Beawiharta
Iklan
TEMPO Interaktif, Kediri - Mendadak Gus Sururi bangkit dari duduknya. Dengan cepat dia berlari menuju teras dan berteriak keras kepada seseorang yang hendak melangkah meninggalkan pintu Pondok Al Ghozali. “Mau kemana, ayo balik,” teriaknya. 

Pria setengah baya itu pun langsung menghentikan langkahnya dan balik badan. Tanpa menoleh dia langsung berbalik arah dan kembali ke dalam pondok. Teriakan Gus Sururi seperti perintah komandan perang kepada anak buahnya yang harus ditaati.

Dengan menyeret kaki pria berbaju lusuh itu masuk ke dalam kamar yang terletak di samping masjid. “Dia mengidap penyakit jiwa,” kata Gus Sururi menjelaskan pria tersebut, saat Tempo mengunjunginya dua pekan lalu.

Menantu KH Badrus Soleh, pemilik Ponpes Al Ghozali ini mengaku tidak bisa mengingat persis mulai kapan pondoknya dipenuhi orang gila. Sejak menjadi santri hingga diambil menantu oleh gurunya, Sururi sudah melihat keberadaan orang gila di tempat itu. Mereka rata-rata berasal dari luar daerah yang mengharap kesembuhan di pondok Desa Duwet, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri ini.

Menurut cerita yang dia dengar dari mertuanya, pondok Al Ghozali pada awalnya tak berbeda dengan pondok pesantren tsalaf yang dipenuhi santri. Selain menanamkan ilmu-ilmu agama kepada santri dan santriwati, Kiai Badrus juga rutin menggelar pengajian di masjid pondok. Pesertanya adalah warga sekitar yang bermukim 20 kilometer dari Kota Kediri.

Situasi ini tiba-tiba berubah ketika pada suatu pagi terjadi kehebohan di lingkungan pondok. Seorang tak dikenal mencorat-coret dinding tembok pondok dengan tulisan “Pondoknya orang gila”. Tulisan tersebut sempat membuat Kiai Badrus berang dan menengarai adanya pihak yang tidak suka dengan kegiatan agamanya.

Meski begitu Kiai Badrus melarang santrinya membersihkan tulisan itu. Dia menganggap hal itu adalah seruan seseorang kepada dirinya agar lebih mawas diri.

Dan entah siapa yang mengatur, beberapa hari berikutnya ada orang gila yang tidur di depan pintu pondok. Melihat keberadaan orang itu, Kiai Badrus menyuruh santrinya membawa masuk dan memandikan. Orang tersebut bahkan diperlakukan seperti layaknya orang waras oleh keluarga Kiai Badrus.

Hampir setiap malam Kiai Badrus memandikan orang tersebut di sumur sambil memijit pundaknya. Usaha itu dilakukan hingga berhari-hari hingga terjadi komunikasi diantara mereka. “Suatu saat orang itu sembuh dan pulang kembali ke keluarganya,” kata Sururi.

Sejak itulah pondok tersebut dikenal sebagai tempat penyembuhan orang gila. Pasien dari dalam maupun luar kota berdatangan ke pondok itu untuk mencari kesembuhan. Hingga suatu masa kehadiran orang-orang gila itu mengusik santri lainnya dan mulai meninggalkan pondok. Mereka tidak betah tinggal serumah dengan orang-orang gila yang kerap mengamuk setiap saat.

Meski tak mempelajari ilmu kejiwaan di sekolah formal, Kiai Badrus dan Sururi cukup jitu menyembuhkan pasiennya. Berbekal sikap positif kepada semua pengidap penyakit jiwa, keduanya mencoba memasuki alam pikiran mereka untuk mengetahui situasi batin si pasien. “Kunci utama penyembuhan adalah mengetahui penyebabnya,” kata Sururi yang meyakini tidak ada manusia yang dilahirkan dalam keadaan gila.

Langkah pertama penyembuhan adalah berkomunikasi dengan keluarga pasien terlebih dulu. Dengan seksama Sururi menggali informasi kehidupan dan gaya hidup penderita mulai kecil hingga sakit. Hal ini sekaligus untuk mengidentifikasi potensi penyebab gangguan jiwa yang rata-rata akibat persoalan ekonomi dan keluarga. “Beberapa ada yang terjerat hubungan asmara dan konflik pekerjaan,” kata Sururi.

Hal ini dialami oleh Faisol Arif, 35, pemuda lajang asal Kediri yang mengalami gangguan jiwa sejak dua tahun silam. Ibunda Faisol yang enggan disebutkan identitasnya menceritakan putranya terlihat linglung saat bekerja di sebuah perusahaan di Pasuruan.

Suatu sore dia menelepon keluarganya di Kediri untuk menjemputnya pulang. Entah mengapa Faisol mengaku bingung untuk menemukan jalan pulang ke rumahnya. “Saya bawa ke rumah sakit jiwa setelah secara fisik dinyatakan tak ada persoalan,” kata sang ibu saat berkonsultasi dengan Sururi.

Merasa tak ada tanda-tanda kesembuhan, dia mendatangi ponpes Al Ghozali yang konon bisa menyembuhkan orang gila. Dan seperti seorang detektif, Sururi mengorek keterangan tentang latar belakang kehidupan Faisol. Dari percakapan itu terkuak jika si pemuda sempat terlibat persoalan narkoba. Keterlibatan penggunaan narkoba ini juga mengejutkan keluarga karena Faisol dikenal pendiam sejak kecil. “Saya harus tahu pula alasan dia menggunakan narkoba, mungkin di situ akar persoalannya,” kata Sururi membuat hipotesa.

Usai mengorek keterangan sang pasien, Sururi menyodorkan tiga lembar kertas kepada keluarga Faisol. Isinya adalah surat perjanjian perawatan hingga tata tertib pengobatan selama di pondok.

Menariknya, surat tersebut juga mencantumkan masa pengobatan yang terbagi dalam beberapa periode. Periode pertama terdiri atas 20–25 hari sejak pasien menjalani perawatan. Jika dianggap sembuh, pasien bisa dipulangkan dalam waktu itu. Namun jika belum ada kemajuan, masa pengobatan bisa diperpanjang. Masih menurut Sururi, pengidap kelainan jiwa ada yang sembuh total hanya dalam waktu satu pekan perawatan.

Sebelum dikembalikan kepada keluarga, Kiai Badrus dan Sururi menggelar selamatan bersih rumah di rumah pasien. Selamatan ini berupa kenduri kecil-kecilan sebagai ungkapan syukur atas kesembuhan pasien sekaligus membersihkan rumah dari roh jahat.

Sejumlah perlengkapan selamatan wajib tersedia di lokasi selamatan. Diantaranya adalah sembilan takir plontong, sembilan sego golong, satu buceng kuat, tiga jenang sengkolo, dua kupat luar, serta sembilan macam jajan pasar.

Tak hanya itu, rumah pasien pun dipagari secara mistis dengan tiga besi baja ukuran 20 centimeter, lima batang paralon, kain mori, dan serbuk kayu cendana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengelola pondok sebenarnya meminta anggota keluarga untuk mendampingi pasien selama pengobatan. Hal itu untuk menjaga kemungkinan si pasien kabur mengingat terbatasnya jumlah tenaga yang ada di pondok. Hanya saja mereka tidak diperkenankan turut campur dalam pengobatan, termasuk menghentikan obat-obat medis jika si pasien dalam perawatan dokter jiwa.

Seluruh pasien, menurut Sururi, akan diperlakukan sama. Tidak ada pengecualian sedikitpun meski keluarga korban menghendaki fasilitas yang layak. Seperti lembaga pemasyarakatan yang memiliki masa pengenalan lingkungan, setiap pasien baru dimasukkan dalam ruang penjara.

Di bagian belakang rumah Kiai Badrus, dibangun kamar-kamar kecil yang menyerupai penjara zaman penjajahan. Setiap kamar berukuran 2,5 x 3 meter berjajar di depan lorong gelap yang pengap. Tak ada fasilitas mandi cuci kakus (MCK) di dalamnya selain sebuah lobang kecil di ujung kamar yang berfungsi sebagai saluran pembuangan. “Mereka buang air juga di situ,” kata Sururi.

Selain fasilitas MCK, tak ada selembar pun alas tidur yang tampak di kamar itu. Seluruh pasien tidur di lantai semen yang dingin dan lembab. Beberapa titik genangan air juga tampak di ruangan itu dan mengeluarkan bau tak sedap. Air itu adalah campuran hujan yang menerobos atap kamar dan kotoran pasien yang tak bisa keluar.

Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat di ujung lorong terdapat kamar mandi tak berpintu yang memiliki bak air besar. Sayang kamar tersebut tak difungsikan oleh Sururi setelah mengaku rugi akibat perbuatan pasien yang membuang-buang air.

Keprihatinan yang sama juga terjadi pada asupan makanan pasien. Pengelola pondok hanya menyediakan dua kali menu nasi dan sayur setiap pagi dan malam. Sedangkan siang hari mereka hanya bisa menyantap ketela rebus. Fasilitas ini tentu sepadan dengan biaya perawatan yang dipatok sebesar Rp 375 ribu per bulan kepada keluarga pasien. “Kebanyakan pasien jadi sulit sembuh karena dimanjakan oleh keluarganya di rumah,” kata Sururi.

Setelah dianggap baik dan bisa diajak berkomunikasi, Sururi memindahkan mereka ke kamar terbuka. Kali ini mereka menempati kamar berukuran 2 x 2,5 meter yang berjajar di samping masjid. Meski tetap sempit, setidaknya kamar tersebut dilengkapi tikar dan tidak pengap.

Kondisi lebih memprihatinkan dialami pasien dengan gangguan jiwa berat. Sebagian dari mereka bahkan terpaksa diikat kakinya menggunakan rantai di pilar masjid. Alhasil tubuh mereka hanya bisa meringkuk di tangga masjid dan teras rumah. “Daripada ngamuk dan lari, saya yang harus bertanggung jawab,” kata Sururi menjelaskan perlakuan itu.

Identifikasi penyakit ringan dan berat ini menurut Sururi hanya didasarkan pada kemampuan komunikasi si pasien. Jika masih bisa diajak berkomunikasi, mereka digolongkan penderita ringan. Sebaliknya jika tak mau mendengarkan orang lain dan bahkan merasa tidak gila, Sururi mengkategorikannya parah.

Tak ada terapis khusus yang dilakukan Sururi kepada pasiennya selama pengobatan berlangsung. Mereka dibiarkan begitu saja hingga malam tiba. Tepat pukul 24.00, Sururi dengan dibantu empat pembantunya mengeluarkan mereka dari kamar dan ikatan untuk dibawa ke ruang mandi.

Sebuah panci besar seukuran drum ditempatkan di ujung kamar mandi. Di dalamnya terdapat air hangat untuk memandikan pasien. Proses tersebut dilakukan oleh empat pembantu Sururi yang setia merawat pasien. Mereka bukanlah tenaga kerja yang direkrut dari luar pondok, melainkan mantan pasien yang tidak diurus oleh keluarganya. Pembantu ini pula yang membersihkan kamar-kamar penjara yang dipenuhi kotoran dan air kencing.

Sambil mengguyur air, Sururi sesekali memijat kepala dan pundak pasien dengan lembut. Hal ini untuk membangun ikatan emosional dengan mereka agar bersedia menceritakan perasaan yang dialami. Dan dari proses ini pula satu per satu menceritakan kegalauan pikiran mereka hingga menyebabkan stres. Ada yang ditinggalkan istri, susah mencari pekerjaan, gagal berwirausaha, diputus pacar, hingga depresi karena tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya.

Jika sudah mengetahui penyebabnya, Sururi akan berkonsultasi dengan keluarga pasien. Mereka diminta membantu menyelesaikan persoalan untuk membantu penyembuhan. “Kami pernah berpura-pura mendatangkan orang agar memberikan uang kepada pasien. Sebab dia mengaku stres karena tak bisa melunasi pinjaman bank,” katanya.

Selain keberhasilan menolong orang, sejumlah kisah kelam juga mewarnai perjalanan pengobatan alternatif Ponpes Al Ghozali. Sururi mengaku pernah menahan malu ketika pasien yang dirawatnya tiba-tiba kambuh dan mengamuk. Padahal kala itu dia baru saja dinyatakan sembuh dan diantar ke rumahnya.

Perkelahian fisik pun juga sempat dialami Sururi yang memiliki perawakan tubuh kecil. Rambut gondrongnya sempat dijambak pasien yang sedang mengamuk hingga membuatnya nyaris pingsan. Berbekal pengalaman itulah Sururi selalu membentak dan berbicara dengan nada keras kepada pasiennya. “Mereka harus dibuat takut agar mematuhi saya,” katanya.

Hasilnya? Semua metode pengobatan yang diterapkan di pondok itu selalu membuahkan hasil. Bahkan dua pasien berlainan jenis yang dirawat di tempat itu akhirnya menikah setelah dinyatakan sembuh.

Kisah kepiawaian Pondok Al Ghozali pun terus terdengar dari mulut ke mulut hingga sekarang. Meski pasiennya terus bertambah dan tak sedikit dari keluarga kaya, biaya pengobatan tak pernah bertambah. Dengan kesederhanaannya, Kiai Badrus dan Sururi tetap berlapang tangan menerima siapapun yang kehilangan ingatan.

HARI TRI WASONO
 

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Gejala Awal Orang dengan Gangguan Jiwa yang Perlu Diperhatikan

18 Februari 2024

Seorang pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) menunjukkan jari yang telah dicelupkan tinta  saat simulasi Pemilu 2024 di Pondok Rehabilitasi Sosial Zamrud Biru, Mustikasari, Bekasi, Jawa Barat, Selasa 13 Februari 2024. Simulasi ini untuk memberikan edukasi kepada pasien ODGJ yang memiliki DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan berdasarkan data KPU Kota Bekasi terdapat 1.095 ODGJ yang memilki hak suara pada Pemilu 2024. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
Gejala Awal Orang dengan Gangguan Jiwa yang Perlu Diperhatikan

Psikolog mengatakan umumnya gejala awal orang dengan gangguan jiwa ialah perubahan emosi maupun perilaku yang mendadak dan cenderung ekstrem.


Psikolog Ungkap 3 Penyebab Orang Alami Gangguan Jiwa

17 Februari 2024

Warga binaan duduk saat menggu panggilan untuk memberikan suara pada pemilu 2024 di TPS 021 dan TPS 022 yang berada di lingkungan Panti Bina Laras Sentosa 3, Jakarta Barat, Rabu, 14 Februari 2024. Sebanyak 250 pemilih berstatus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sekaligus warga binaan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3 memberikan suara pada Pemilu 2024. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Psikolog Ungkap 3 Penyebab Orang Alami Gangguan Jiwa

Psikolog menjelaskan ada tiga faktor penyebab gangguan jiwa, mulai dari keturunan hingga paparan lingkungan.


Jangan Minta ODGJ yang Baru Pulih Hidup seperti Dulu atau Kondisinya akan Memburuk Lagi

16 Februari 2024

Seorang pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) Pondok Rehabilitasi Sosial Jamrud Biru menunjukkan surat suara pada Pemilu 2024 di TPS 049 Mustikasari, Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 14 Februari 2024. Sebanyak 97 pasien ODGJ Jamrud Biru yang memiliki DPT (Daftar Pemilih Tetap) menggunakan hak suara pada Pemilu 2024 di 8 TPS. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
Jangan Minta ODGJ yang Baru Pulih Hidup seperti Dulu atau Kondisinya akan Memburuk Lagi

Jangan menuntut ODGJ yang sudah dinyatakan pulih dengan obat untuk kembali hidup sempurna. Ini yang perlu dipahami keluarga pasien.


Caleg Stres dan Depresi karena Gagal di Pileg 2024, Begini Penanganannya

14 Februari 2024

ilustrasi stres (pixabay.com)
Caleg Stres dan Depresi karena Gagal di Pileg 2024, Begini Penanganannya

Apa saja layanan psikologis yang disediakan sejumlah rumah sakit melayani para caleg stres dan depresi akibat gagal dalam Pileg 2024?


Psikiater Ingatkan Hasil Pemilu 2024 Bisa Picu Gangguan Mental pada Pemilik Komorbid

13 Februari 2024

Ilustrasi stres. TEMPO/Subekti
Psikiater Ingatkan Hasil Pemilu 2024 Bisa Picu Gangguan Mental pada Pemilik Komorbid

Psikiater menuturkan gangguan mental setelah Pemilu 2024 dapat memperparah kondisi pemilik komorbid. Ini yang perlu dilakukan.


Risiko Caleg Stres dan Alami Gangguan Jiwa Setelah Gagal Terpilih di Pemilu 2024

8 Februari 2024

ilustrasi stres (pixabay.com)
Risiko Caleg Stres dan Alami Gangguan Jiwa Setelah Gagal Terpilih di Pemilu 2024

Menjelang Pemilu 2024, beberapa kota termasuk DKI Jakarta dan Cianjur sediakan layanan kesehatan jiwa bagi caleg stres karena gagal terpilih.


RSKD Duren Sawit Jadi Rujukan untuk Caleg Alami Stres dan Gangguan Jiwa di Pemilu 2024, Ini Profilnya

8 Februari 2024

RSKD Duren Sawit. Foto : X
RSKD Duren Sawit Jadi Rujukan untuk Caleg Alami Stres dan Gangguan Jiwa di Pemilu 2024, Ini Profilnya

Dinkes DKI Jakarta mengantisipasi penanganan caleg alami gangguan jiwa pasca Pemilu 2024, rujukan di RSKD Duren Sawit.


Kasus Mayat Dalam Kontainer di Tanjung Priok, Korban Memiliki Riwayat Gangguan Jiwa

6 Februari 2024

Evakuasi mayat perempuan dalam sebuah kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Selasa, 16 Januari 2024. Sumber: Istimewa
Kasus Mayat Dalam Kontainer di Tanjung Priok, Korban Memiliki Riwayat Gangguan Jiwa

Polres Pelabuhan Tanjung Priok dan Polres Fakfak masih menyelidiki kasus mayat dalam kontainer ini soal bagaimana korban masuk ke peti kemas.


Ketua KPU: Orang dengan Gangguan Jiwa Dapat Hak Pilih

21 Desember 2023

Ketua KPU Hasyim Asy'ari saat mengumumkan penetapan pasangan Capres dan Cawapres di Kantor KPU, Jakarta, Senin, 13 November 2023. KPU menetapkan tiga pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yaitu; Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, serta Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming untuk Pemilu serentak 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ketua KPU: Orang dengan Gangguan Jiwa Dapat Hak Pilih

Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan teknis keterlibatan masyarakat dalam Pemilu 2024, khususnya pemilih yang ODGJ.


Kemenko PMK: Tak Cuma Stunting, Kesehatan Jiwa Juga Perlu Perhatian Khusus

12 Desember 2023

Ilustrasi wanita depresi. (Pixabay.com)
Kemenko PMK: Tak Cuma Stunting, Kesehatan Jiwa Juga Perlu Perhatian Khusus

Kemenko PMK menyebut isu-isu terkait kesehatan jiwa seharusnya menjadi salah satu isu sentral seperti halnya stunting karena berhubungan dengan SDM.