TEMPO Interaktif, SURABAYA - Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, hari ini (4/2) sekitar pukul 10.00 WIB, mengadakan pertemuan dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Pertemuan yang direncanakan berlangsung di kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Lenteng Agung, Jakarta tersebut juga dihadiri pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kota Surabaya dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Provinsi Jawa Timur.
Wakil Walikota Bambang Dwi Hartono juga akan hadir dalam pertemuan tersebut. Bambang, pada Rabu (2/2) telah mengajukan surat permohonan pengunduran diri dari jabatannya sebagai wakil walikota setelah terjadi ketegangan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya dengan Tri Rismaharini yang berujung dengan pemakzulan terhadap Tri Rismaharini.
Sumber Tempo mengungkapkan, dalam pertemuan itu, selain membahas surat permohonan pengunduran diri Bambang DH, juga meminta klarifikasi Tri Rismaharini berkaitan dengan hubungannya yang buruk dengan DPRD.
”Dua masalah utama yang akan menjadi agenda pembahasan dengan Ibu Risma, yakni merekonstruksi relasi antara partai dengan walikota, serta memverifikasi masalah-masalah yang selama ini mengganjal hubungan partai dengan Ibu Risma,” kata sumber tersebut.
Pertemuan di DPP merupakan kelanjutan dari pertemuan antara Tri Rismaharini dengan pengurus DPC dan DPD PDI Perjuangan di kantor DPD di Jalan Kendangsari Surabaya, Rabu malam (2/2). Pertemuan tersebut tidak mencapai titik temu.
Menurut sumber tersebut, Sejak dilantik menjadi walikota, jalinan komunikasi antara Risma dengan PDI Perjuangan, juga dengan Bambang DH sebagai wakil walikota, menjadi tidak intensif. ”Terjadi penurunan kadar relasi, bahkan terjadi disconnect hubungan antara Ibu Risma dengan PDI Perjuangan, maupun Mas Bambang,” katanya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam penyusunan kebijakan pembangunan, Risma justeru bekerja dengan orang-orang di luar lingkaran Pemerintah Kota Surabaya yang diangkatnya sebagai staf ahli.
PDI Perjuangan tidak bermaksud mendikte Risma. Tapi sebagai partai pengusung memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan apa yang dikemukakan pasangan Risma dan Bambang saat berkampanye yang merupakan visi dan misi partai. Namun, kenyataannya, Risma tidak menjalankannya. ”Lagi pula, bagaimana bisa mendikte Ibu Risma, berkomunikasi saja tidak bisa, kok,” kata sumber tersebut.
Risma juga diminta agar menjaga komitmen saat ’ijab qabul’ dengan PDI Perjuangan, yakni menjalankan pemerintahan dengan menjunjung tinggi good government. Tapi yang dilakukan Risma justeru sebaliknya, yakni lebih memilih melibatkan orang-orang yang disebutnya sebagai staf ahli.
Dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) beserta dokumen kelengkapannya, Risma tidak melibatkan Tim Anggaran Pemkot Surabaya yang diketuai Sekretaris Kota Soekamto Hadi.
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi salah satu dokumen kelengkapan RAPBD, Risma lebih banyak membahasnya dengan para staf ahlinya. Aparat Pemkot Surabaya yang dilibatkan adalah ”kawan-kawan dekatnya,” seperti pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) yang dahulu dipimpin Risma.
Dalam RPJMD itu pun sama sekali tidak memasukan apa yang menjadi visi dan misi PDI Perjuangan, yakni program pembangunan yang pro rakyat. Termasuk di antaranya penataan kampung, pavingisasi, pemberian fasilitas penerangan jalan umum (PJU) di perkampungan urban di Kota Surabaya.
Demikian pula dalam penyusunan Kebijakan Umum Anggaran/Platform Perencanaan Anggaran Sementara (KUAPPAS).
Pola pemerintahan yang dijalankan Risma mengakibatkan terjadinya disharmonisasi di internal Pemkot Surabaya. Pembahasan RAPBD beserta dokumen pelengkapnya menjadi molor.
Sebagai partai pengusung, PDI Perjuangan tidak ingin imagenya buruk di hadapan publik, sehingga perlu mengingatkan Risma agar menjaga komitmennya. Tapi, karena hubungan yang sudah terlanjur buruk, apa yang diinginkan PDI Perjuangan terabaikan. ”Sebagai walikota yang diusung partai, dia harus bisa menjabarkan dalam program pembangunannya apa saja yang menjadi aspirasi masyarakat melalui partai.”
”Relasi antara Ibu Risma dengan partai semakin buruk karena orang-orang di lingkaran utama Ibu Risma justeru memutus akses komunikasi antara PDI Perjuangan dengan Ibu Risma.”
Bambang DH ketika dikonfirmasi Tempo membenarkan apa yang diuraikan sumber Tempo tersebut.
”Ketika saya menjadi walikota, sudah biasa dilakukan pola komunikasi tiga pilar, yakni antara DPC, Fraksi DPI Perjuangan di DPRD serta walikota dan wakil walikota sebagai petugas partai di eksekutif. Dengan pola semacam itu bisa terjaga hubungan komunikasi yang baik dengan DPRD. Tapi Ibu Risma tidak mau melakukannya,” ujar Bambang saat dihubungi Tempo Kamis malam (3/2).
Buruknya hubungan dengan DPRD berdampak buruk terhadap jalannya roda pemerintahan yang akan dilakukan eksekutif. Akibatnya, apapun yang menjadi kebijakan eksekutif selalu mendapat penolakan DPRD. ”Selama saya menjadi walikota, juga kerap terjadi ketegangan dengan kawan-kawan di DPRD. Tapi karena adanya pola komunikasi yang baik, masalah bisa diselesaikan dengan baik,” paparnya.
Mengapa harus mengajukan pengunduran diri, menurut Bambang merupakan bentuk pertanggungjawabannya terhadap masyarakat Surabaya, termasuk konstituen PDI Perjuangan. ”Jabatan saya adalah wakil walikota. Tapi kalau tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tidak ada manfaatnya saya terus bertahan karena saya tidak bisa berkontribusi apa pun untuk ikut membangun Surabaya,” ucapnya pula.
Bambang tidak menolak keterlibatan staf ahli. Namun, tidak berarti Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sudah ada di Pemkot Surabaya diabaikan fungsinya. ”Tapi Ibu Risma besikeras tetap mempertahankan staf ahlinya. Bahkan ketika pertemuan di kantor DPD, Ibu Risma tidak bersedia menandatangani kesepakatan karena ada butir soal keterlibatan staf ahli.”
Sampai berita ini ditulis, Tri Rismaharini belum bisa dimintai konfirmasi.
JALIL HAKIM