TEMPO Interaktif, SURABAYA - Mantan Wakil Walikota Surabaya Arif Afandi mengatakan telah memperkirakan bakal terjadi keretakan hubungan antara Walikota Tri Rismaharini dengan Wakil Walikota Bambang Dwi Hartono.
“Semula saya memperkirakan paling lama bisa bertahan hanya enam bulan. Ternyata malah lebih cepat, karena baru empat bulan sudah pecah,” katanya ketika dihubungi Tempo, Jum’at (4/2).
Pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah terjadi karena pada era desentralisasi, menurut Arif, akibat tidak ada ketentuan perundangan yang secara jelas membagi kewenangan dan tugas antara walikota dan wakil walikota.
Undang-undang tentang otonomi daerah maupun yang berkaitan dengan pemerintahan di daerah belum dilengkapi peraturan pelaksana serta petunjuk tekhnis pembagian tugas kepala daerah, yakni antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. “Akibatnya terjadi penafsiran sendiri-sendiri oleh kepala daerah maupun wakil kepala daerah,” ujarnya.
Arif Afandi meraih gelar doktor di bidang tata pemerintahan di Universitas Airlangga Surabaya. Arif melahirkan desertasi tentang relasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
“Undang-undang tentang pemerintah daerah tidak cukup menjamin terjalinnya hubungan kerja yang baik antara kepala daerah dan wakilnya,” ucapnya pula.
Untuk menjembataninya diperlukan kemampuan leadership di antara keduanya. Saling menghargai posisi masing-masing serta saling mengisi, juga menjadi kunci.
Lima tahun menjabat sebagai wakil walikota, Arif Afandi mengenal dan mengetahui karakter Tri Rismaharini maupun Bambang. Namun, Arif tidak ingin memberikan penilaian secara spesifik siapa di antara keduanya yang menjadi biang perpecahan.
Arif mengemukakan hasil penelitiannya yang menjadi dasar penyususan desertasinya. Yakni adanya sikap otoritarian, hegemoni, kurang terbuka, kurang mau mendengarkan pihak lain, menjadi pemicu rusaknya relasi antara kepala daerah dan wakilnya. “Sikap dan karakter seperti itu tidak akan memberikan ruang bagi kepala daerah dan wakilnya untuk bisa bersinergi.”
Kondisi diperparah oleh gencarnya kepentingan-kepentingan kelompok, termasuk kepentingan politik, sehingga kepala daerah mengabaikan fungsi wakilnya, dan sebaliknya wakil kepala daerah mengenyampingkan fungsi dan kewenangan kepala daerah.
Arif mencontohkan pola kepemimpinan yang diterapkan pasangan Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf. “Keduanya sangat akomodatif, bersedia saling mendengar sehingga pembagian tugas dan kewenangannya jelas dan berjalan dengan baik.”
Dalam kasus relasi antara Tri Rismaharini dan Bambang, Arif tidak menampik dominasi peran staf ahli yang dikaryakan oleh Tri Rismaharini. Keberadaan staf ahli mengakibatkan terjadinya kepincangan peran birokrasi di Pemerintah Kota Surabaya.
Sikap Tri Rismaharini juga kerap memperlihatkan dirinya mengabaikan PDI Perjuangan sebagai partai yang mengusungnya menjadi walikota. Sikap tersebut mengganggu relasinya dengan Bambang yang bukan hanya wakil walikota tapi juga kader PDI Perjuangan.
Adapun hubungan kerjanya saat menjabat Wakil Walikota dengan Bambang sebagai Walikota, menurut penuturan Arif, bisa berjalan baik karena sikap akomodatif di antara keduanya. “Saya menghargai keputusan Pak Bambang sebagai walikota. Sebaliknya Pak Bambang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada saya sebagai wakil walikota,” papar Arif.
Arif menyebutkan sejumlah kebijakan Pemerintah Kota yang berasal dari idenya yang pada kenyataannya didukung oleh Bambang. Di antaranya pembentukan Surabaya Tourism Board, Surabaya Shopping Festival (SSF), maupun Surabaya Sparkling. “Setiap kali dilakukan acara pembukaan SSF, misalnya, kami hadir bersama,” ucap Arif.
Arif mengakui gencarnya upaya membenturkan dirinya dengan Bambang sudah terjadi sejak awal menjalankan roda pemerintahan. Namun, Arif berpegang pada prinsip bahwa kepala daerah harus solid. “Kalau kepala daerah dan wakilnya head to head akan membingunkan birokrasi. Roda pemerintahan akan macet.”
Bahkan Arif tidak langsung menerima pinangan Partai Demokrat saat masa jabatannya sebagai wakil walikota baru berjalan dua tahun. Saat itu Arif ditawari jabatan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kota Surabaya. “Bahwa kemudian saya memilih bergabung dengan Partai Demokrat, karena saatnya saya nilai sudah tepat. Tapi kalau pada saat saya baru dua tahun menjabat langsung saya terima tentunya akan berdampak pada soliditas relasi antara saya dengan Pak Bambang,” katanya.
Arif Afandi saat ini menjadi salah seorang wakil ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Jawa Timur.
Karena belum adanya peraturan pelaksana sebagai petunjuk tekhnis pembagian tugas dan wewenang antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, dalam desertasinya Arif merekomendasikan perlunya kesepakatan atau kontrak politik. “Sebelum ijab qabul diteken untuk berkoalisi, harus dibuat pembagian tugas dan wewenang yang jelas.” JALIL HAKIM.