TEMPO Interaktif, KUPANG - Sebanyak 80 persen dari 512 pengaduan pers yang masuk ke Dewan Pers sepanjang tahun 2010 ternyata menunjukkan media terbukti melanggar kode etik jurnalistik.
"80 persen dari kasus yang ditangani atau dimediasi dewan pers, berakhir dengan keputusan media melakukan pelanggaran kode etik," kata Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers ketika membawakan materi pada acara workshop peningkatan profesionalisme wartawan daerah di Kupang, Senin (7/2).
Baca Juga:
Menurut dia, bentuk pelanggaran kode etik dilakukan media antara lain, pemberitaan tidak berimbang, tidak melakukan verifikasi dan menghakimi, mencampurkan fakta dan opini tanpa data yang tidak akurat serta keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip dalam berita.
Pelanggaran lain yakni sumber berita tidak kredibel/ tidak jelas, berita mengandung muatan kekerasan, sadisme, atau pornografi serta media menjadi conflict intensivier.
Lainnya, jurnalis tidak melakukan wawancara secara langsung, media tidak dapat memberikan bukti wawancara, melanggar privasi orang, dan jurnalis tidak dapat menunjukkan identitas diri waktu wawancara. “Berarti lebih dari 82 kasus setelah kita selidiki melakukan pelanggaran kode etik," katanya.
Dalam rangka penegakan kode etik jurnalis, maka dewan pers dalam konteks penegakan kode etik secara tegas meminta kepada media yang diadukan harus memuat hak jawab. "Biasanya ini debatkan, namun apakah perlu ditambah dengan harus meminta maaf. Setelah kita jelaskan 95 persen media itu menerima,” katanya.
Dari 512 kasus yang diadukan, lanjutnya, pengaduan terbanyak dari Jakarta sebanyak 68 pengaduan, Sumatra Utara 13 pengaduan, Jawa Barat 9 pengaduan, Jawa Timur 8 pengaduan dan NTT 2 pengaduan.
Dengan banyaknya pengaduan ke dewan pers, tambahnya, menunjukan bahwa masyarakat sudah percaya terhadap UU Pers, dan menurunnya potensi kriminalisasi atau kekerasan terhadap pers. Namun, dilain pihak, pengaduan ini menunjukan bahwa banyak pelanggaran kode etik jurnalistik dan buruknya kualitas jurnalisme di Indonesia.
YOHANES SEO