TEMPO Interaktif, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan akan menimbulkan masalah. YLKI mempertanyakan kesanggupan pemerintah untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan labelisasi halal itu. "Jika diwajibkan malah jadi persoalan. Lebih baik sifatnya voluntary saja," kata Ketua Harian YLKI Sudaryatmo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Sosial DPR di Senayan, Rabu (9/2).
Labelisasi halal tersebut, menurut Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan oleh pelaku usaha yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan yang mayoritas muslim, seperti di Indonesia. "Itu konsekuensi agar produk mereka laku. Tak perlu wajib," kata Sudaryatmo.
Pentingnya labelisasi produk halal dinilai anggota Komisi Sosial DPR untuk memberi perlindungan hukum konsumsi atas kepentingan kelompok tertentu. Rencananya, DPR bersama pemerintah akan merumuskan Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal.
Menurut Sudaryatno, labelisasi membutuhkan biaya tinggi. Seperti pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi fatwa.
Sudaryatmo pun meminta agar proses labelisasi halal yang diterapkan berbeda antara industri pangan besar dengan industri kecil. "Industri kecil kerap mengeluh harus menanggung tiket dan biaya penginapan auditor dari Jakarta," kata Sudaryatmo.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan semua produk pangan yang mengandung babi atau dalam prosesnya pernah bersinggungan dengan babi wajib mencantumkan kotak merah bergambar babi.
Kepala BPOM Kustantinah mengatakan, gambar babi itu harus dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan. Langkah itu ditempuh untuk memberi informasi buat masyarakat Indonesia, yang mayoritas muslim.
Hal tersebut diucapkan Kustantinah dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di gedung DPR kemarin. Menurut dia, pencantuman gambar babi itu untuk mencegah peredaran produk makanan yang tak layak dikonsumsi masyarakat.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Produk Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia, Lukmanul Hakim, menyatakan hingga kini produk pangan yang telah melakukan sertifikasi halal baru sekitar 36,7 persen. Dari jumlah itu, sekitar 31 persen berasal dari produk pangan impor, yang 21 persennya dikuasai produk-produk asal Cina. “Sekarang kesadaran impor untuk melakukan sertifikasi terus meningkat,” tuturnya, kemarin.
Ia menyayangkan masih banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat yang belum teregistrasi sertifikat halal. Jumlahnya mencapai 54,9 persen. “Mayoritas label halal itu palsu,” kata Lukmanul.
PITO AGUSTIN RUDIANA