Walau tak digubris, petugas pemasaran dari bank itu tetap gigih menawarkan kredit tanpa agunan melalui pesan pendek. Syaratnya mudah, nilainya sampai Rp 200 juta. Bahkan mereka kemudian menelepon. Tapi Erwin tetap tak terbujuk. "Maaf, saya sedang tak butuh uang," kata pria 30 tahun itu.
Sikap Erwin tentu tepat: jangan mudah tergoda. Menurut konsultan perencanaan keuangan Mike Rini Sutikno dari MRE, Financial & Business Advisory, dalam mengambil pinjaman, harus ada alasan kebutuhan. "Jika tak ada kebutuhan, jangan ambil pinjaman," kata dia. Tawaran pinjaman memang sedang marak. Namun tak harus selalu diiyakan.
Walaupun sedang tak ada beban cicilan, jika tak ada kebutuhan, sebaiknya jangan mengambil pinjaman. Bahkan tidak selalu setiap kebutuhan harus dipenuhi dengan pinjaman.
Pinjaman bisa diambil jika menyangkut kebutuhan prioritas. Misalnya rumah bagi mereka yang sudah berumah tangga. Jika untuk kebutuhan membeli ponsel atau perangkat hiburan, tak perlu meminjam. "Karena itu bukan kebutuhan prioritas."
Selain itu, untuk mengambil pinjaman, perlu dilihat kemampuan kita dalam melunasi pinjaman tersebut. "Mengambil pinjaman memang mudah, tapi tak mudah buat mengembalikannya," kata dia. Batas aman yang disarankan, besaran cicilan utang adalah 30 persen dari penghasilan kita. Pasalnya, jika beban cicilan besar, penghasilan hanya akan digunakan buat membayar cicilan, sehingga terbelit kredit.
Jika sudah ada kebutuhan prioritas dan kemampuan untuk mengembalikan, baru konsumen yang memilih jenis pinjaman sesuai dengan kebutuhan. "Kita proaktif yang memilih jenis pinjaman," kata dia. Misalkan, ketika hendak membeli rumah, walaupun datang tawaran kredit tanpa agunan, jika lebih sesuai dengan kredit perumahan, lebih baik memakai kredit perumahan.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang sudah berkeluarga, tapi juga bagi mereka yang masih lajang. "Justru karena masih lajang, maka perlu dilakukan sejak dini," kata Rini. Pasalnya, umumnya kaum lajang memiliki kebutuhan lebih sedikit jika dibanding mereka yang sudah berumah tangga.
Rini menyatakan fase transformasi dari lajang ke berpasangan umumnya mencapai 3-10 tahun. Artinya, masa lajang selama masa ini digunakan untuk persiapan menuju masa berpasangan. Jadi, walaupun lajang, dalam mengatur keuangan tak harus seenaknya.
Buat kaum lajang, Rini menyarankan, beban cicilan tetap maksimal 30 persen dari penghasilan. Sedangkan investasi dan tabungan sebesar 20-30 persen. Sisanya baru untuk konsumsi.
NUR ROCHMI