TEMPO Interaktif, Jakarta - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai insiden penyerangan dan pembunuhan tiga jamaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandegelang, Banten, menjadi tambahan file buruk bagi figur Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo.
Menurut Peneliti Imparsial Rusdi Marpaung, Jenderal Timur yang semestinya memegang kendali pengamanan, lagi-lagi tidak melaksanakan tugasnya.
Baca Juga:
Rusdi menyebut kasus Trisakti dan Semanggi, pada 1998 lalu, mengingatkan kembali kalau Timur punya sejarah buruk pada kasus kemanusiaan yang sama. “Pak Timur, tidak pernah mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusian yang melibatkan dirinya,” kata Rusdi, saat diskusi kekerasan terhadap Ahmadiyah, di kantor Imparsial, Ahad (13/2).
Pada kasus Trisakti, ketika itu Timur menjabat sebagai Kepala Polres Jakarta Barat. Empat mahasiswa tewas tertembak saat menggelar demonstrasi menuntut Presiden Soharto turun, pada 12 Mei 1998. Kemudian kasus Semanggi, pada 13 November, Timur juga muncul saat mahasiswa mengepung DPR, hendak menggagalkan Sidang Istimewah MPR dan menolak Dwifungsi ABRI.
Menurut Rusdi, belajar dari kasus tersebut ada potensi akan terjadi pembiaran pada kasus Cikeusik. Pelaku penyerangan dan pembunuhan tiga jemaah Ahmadiyah, kata dia, bisa jadi tidak mendapat hukuman berat seperti insiden Trisakti dan Semanggi.
" Desakan kami konkrit, meminta perombakan total pada level kepemimpinan Polri,” ujarnya. “Dia (Timur) punya psikologi, dan mental yang buruk pada kasus kemanusian,”.
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, mengatakan kepolisian sebenarnya punya prosedur tetap dalam pengamanan. “Tetapi tidak dilaksanakan,” katanya.
Sebabnya, Haris melanjutkan, pola kordinasi dalam tubuh Polri tidak berjalan baik. Faktor lain, kata dia, adanya politik kekerasan dalam kasus penyerangan jamaah Ahmadiyah. “Di daerah, janji membubarkan Ahmadiyah menjadi jargon kampanye calon kepala daerah,” katanya.
Hamluddin