“Sayuran dari pulau Jawa terlambat datang dan saat tiba sudah busuk. Pedagang pengecer tidak mau terima itu,” kata Sutono, salah seorang pedagang di Pasar Induk Tamin, Bandar Lampung, Senin (14/02).
Sutono mengatakan, kemacetan di penyeberangan Selat Sunda yang terjadi sejak dua pekan terakhir sangat memukul para pedagang sayuran di pasar induk satu-satunya di Lampung itu. Aktivitas bongkar muat yang biasanya sudah berlangsung sejak malam hingga pagi hari kini molor hingga siang hari. “Kalau sudah begini bisnis sayuran di Lampung rusak. Sayuran yang dijual juga tidak lagi segar,” katanya.
Pria asal Jawa Tengah yang telah berbisnis sayuran sejak belasan tahun silam itu mengaku heran dengan kemacetan di Pelabuhan Merak Banten. Terkadang, kata dia, alasannya aneh dan tidak masuk akal. “Biasanya gelombang yang menjadi alasan. Padahal, berita di media massa kondisi cuaca di Selat Sunda tidak ada masalah. Kami menduga kemacetan sengaja diciptakan,” katanya.
Semestinya, kata Sutono, pihak pengelola pelabuhan mendahulukan kendaraan pengangkut buah, sayuran dan kebutuhan pokok lainya. Kemacetan juga menyebabkan penambahan biaya tinggi. “Dari pada busuk, kami terpaksa mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk nyogok petugas. Istilahnya itu uang tembak,” katanya.
Dampak lainnya adalah para pedagang menghentikan aktivitas bisnis di pasar. Mereka menutup kios mereka untuk menghindari kerugian yang lebih banyak. “Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, pasokan sayur untuk warga Lampung akan terganggu,” kata Ani Prihatin, pedagang sayur di Pasar Tamin.
Ani menambahkan, para pedagang yang memilik modal kuat telah mengalihkan pasokan sayuran dari Pulau Jawa ke Sumatera Barat. Mereka berburu sayuran seperti kubis, kentang, wortel, tomat dan cabe ke Sumatera Barat. “Itu juga bukan pilihan mudah karena kami harus dihadapkan pada kondisi jalan yang rusak dan pungutan liar sepanjang jalan,” katanya.
Nurochman Arrazie