TEMPO Interaktif, Jakarta - Dari hitungannya, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan KIARA Riza Damanik menyebut angka kerugian Negara akibat pencurian ikan mencapai Rp 50 triliun per tahun. Angka ini lebih rendah dibanding pernyataan Lembaga Pangan Dunia (FAO) yang menyebut kerugian ekonomi satuan ikan yang dicuri dari perairan Indonesia bisa mencapai Rp 30 triliun per tahun.
Berdasar laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu, kata Riza, kerugian ini disebabkan Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat praktek manipulasi data fisik kapal terkait izin-izin perikanan. Akibatnya, Kementerian tidak bisa mengoptimalkan pungutan terhadap tiap kapal yang diatur dalam Undang-undang Pendapatan Negara Non Pajak.
Hingga Maret 2010, BPK menemukan sejumlah kejanggalan di Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Maluku. Selain itu kejanggalan ditemui di Kota Medan, Ambon, Bitung, dan Manado.
Pada level nasional, Kementerian ditemukan telah mengeluarkan izin kepada 4 kapal yang tonasenya tidak sesuai dengan fisik kapal sesungguhnya. Misalnya, kapal bernama Ulang Ulie XI milik PT Arabikatama Khatulistiwa dengan bobot asli 60 GT namun dicatat 24 GT.
Juga ada kapal bernama S&T Samudera Jaya 6 milik PT S&T Mitra Mina Industri dengan bobot asli 442 GT, tapi dicatat 398 GT. Dan masih ada dua kapal lainnya. “Kalau seperti itu, rakyat yang rugi,” kata Riza, kemarin.
Juru Bicara Bidang Pengawasan Penangkapan Ikan Wilayah Barat, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Erlina tak menampik data itu. Dia menjelaskan, pemerintah sudah berupaya menekan kasus ilegal fishing, terutama terkait perizinan kapal.
Tahun ini, pemerintah mentargetkan 31 persen masalah izin kapal selesai. ”Laporan Surat Layak Operasi harus benar. Kalau tidak, kapal tidak bisa berlayar,” kata dia.
MUHAMMAD TAUFIK