TEMPO Interaktif, Jakarta - Lima tahun bekerja, lima kali Bernard--bukan nama sebenarnya--berganti pekerjaan. Kali ini laki-laki 28 tahun itu bekerja sebagai periset produk barang-barang konsumsi. Meski dulu dia menggebu-gebu beralih ke pekerjaan sekarang dari analis keuangan, Bernard tetap belum menemukan pekerjaan yang cocok. “Antara pekerjaan dan kompetensi belum klop,” katanya saat dihubungi, Senin lalu.
Sebagai sarjana statistik di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, Bernard menilai kemampuannya kurang spesifik. “Saya merasa generalis,” ujarnya. Setiap kali menuliskan biodata untuk melamar pekerjaan, dia kerap bingung memahami kemampuannya yang paling menonjol. Akibatnya, dia menulis curriculum vitae lebih dari lima lembar, memuat pengalaman pelatihan dan seminar yang ia ikuti. “Prestasi ketika kuliah juga sering saya tulis,” ujarnya.
Pria asal Semarang, Jawa Tengah, itu mengatakan, setiap kali merasa bosan dengan pekerjaan, dia mulai mencari yang baru. “Kadang mendapat informasi dari teman atau agensi lowongan kerja,” ujarnya. Ia tertarik jika perusahaan yang membuka lowongan itu bonafide atau kesohor.
Bernard saat ini sedang mengikuti proses rekrutmen pada perusahaan semen yang berbasis di luar negeri. Lowongan ini ia dapatkan dari sebuah agensi. “Saya sudah menyebar curriculum vitae di beberapa agensi,” ucapnya. Bernard berharap agensi bisa menemukan pekerjaan yang cocok. “Makanya, saya tuliskan biodata selengkap mungkin,” katanya.
Lain lagi cerita Ermaya, rekan sekantor Bernard. Sejak tamat kuliah dari Institut Teknologi Bandung lima tahun lalu, dia baru dua kali pindah kerja. “Merasa cocok,” ujarnya. Menurut Ermaya, kecocokan itu didapatkan karena ia sederhana dalam menyampaikan kompetensinya.
“Saya tak bertele-tele menuliskan curriculum vitae,” kata perempuan 28 tahun itu saat ditemui di kawasan belanja Gandaria City, Jakarta Selatan, Ahad lalu.
Saat melamar, Ermaya menuliskan pengalaman kerja paruh waktu dan prestasi saat kuliah. “Tapi belum tahu kompetensinya apa,” ujarnya. Ketika mendapat pekerjaan sebagai periset pasar perusahaan lokal, ia mulai menekuni bidang tersebut. “Saya merasa cocok,” katanya.
Dari sekian proyek survei yang dikerjakan, perempuan asal Kebumen, Jawa Tengah, itu menilai lebih oke jika meneliti untuk produk anak-anak. “Saya lebih teliti dan lebih cepat selesai sebelum tenggat waktu,” ujarnya. Prestasi ini ia jadikan portofolio ketika melamar pekerjaan di perusahaan asing, dan diterima.
Pendiri dan pengelola Headhunter Indonesia, Haryo Utomo Suryosumarto, mengatakan banyak karyawan di Indonesia kurang ahli menuliskan kompetensinya. “Mereka kurang spesifik menyebutkan kompetensinya,” ujarnya saat dihubungi, Senin lalu.
Menurut Haryo, tren karyawan memberikan biodata kepada headhunter atau agensi makin meningkat. “Rata-rata 10-15 curriculum vitae per hari,” katanya. Sayangnya, sebagian besar hanya menyebutkan riwayat pekerjaan lengkap tanpa keunggulan atau prestasi yang pernah diraihnya.
Walhasil, banyak karyawan yang memiliki riwayat pekerjaan cukup panjang, tapi malah tak pernah dipanggil. Padahal, kata Haryo, biodata yang efektif tidak lebih dari tiga halaman. “Lebih bagus dua halaman,” katanya. Yang paling utama dalam menuliskan profil diri adalah kompetensi. “Prestasi di kampus, sertifikat pelatihan, dan seminar tak perlu dituliskan,” ujarnya menambahkan.
Haryo mengatakan, agensi atau headhunter ketika mencari karyawan yang dibutuhkan perusahaan klien mereka cukup dengan menuliskan kata kunci. Nah, kata kunci ini adalah kompetensi spesifik. “Jika karyawan tak menyebutkan kata kunci ini, namanya tak bakal muncul,” ujarnya.
Haryo justru mengutamakan prestasi dalam pekerjaan sebagai hal yang perlu dituliskan, seperti yang dilakukan Ermaya. “Tuliskan saja proyek apa saja yang pernah goal,” katanya. Kalau pernah menyelesaikan sebuah proyek lebih cepat dari tenggat, “Itu sudah prestasi, tuliskan itu,” ujarnya.
Salah satu pemicu rasa tak betah adalah ketidakcocokan antara pekerjaan dan keinginan. Seharusnya situasi ini bisa dihindari dengan menuliskan profil diri yang lebih detail dan akurat. “Tidak bertele-tele,” katanya.
Namun Haryo juga mengingatkan bahwa karyawan harus mampu membedakan rasa tidak kerasan, apakah karena bosan ataukah lantaran tak cocok dengan pekerjaan. Jika tak cocok, menurut dia, penyelesaiannya memang pindah pekerjaan. “Namun, jika bosan, lebih baik baik bertahan dan ambil cuti,” katanya.
AKBAR TRI KURNIAWAN