TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Wilayah perbukitan di Daerah Istimewa Yogyakarta tergolong rawan longor. Hujan deras dan gempa yang sering melanda potensial melongsorkan tanah perbukitan itu.“Daerah Istimewa Yogyakarta sering terjadi gempa, meskipun magnitute-nya tidak tinggi, itu membuat perbukitan bertambah rentan,” kata Winaryo, peneliti di Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Ahad (27/2).
Lingkungan di bantran sungai yang melintasi Daerah Istimewa Yogyakarta juga rawan longsor oleh gerusan aliran air. Sungai yang paling harus diwaspadai adalah sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Alasannya, baru sepertiga dari total 140 juta meter kubik luncuran material vulkanik gunung berapi pada 2010 yang terbawa air.
Daerah perbukitan yang perlu diwaspadai, antara lain: perbatasan Kabupaten Bantul dan Gunungkidul yaitu perbukitan Baturagung di Kecamatan Piyungan, Imogiri, Dlingo. Bukit di Bantul wilayah barat yang diwaspadai berada di kecamatan Sedayu.
Wilayah Kabupaten Kulonprogo sudah menjadi langganan longsor yaitu di perbukitan Menoreh di kecamatan Samigaluh, Kokap dan Girimulyo. Wilayah kota Yogyakarta perlu diwaspadai longsor bantaran sungai Code, Winongo dan Gajah Wong.
Perbukitan itu, kata Winarno, sangat rentan longsor jika hujan deras. Apalagi gempa sering membuat tanah perbukitan retak. Air hujan sangat mudah masuk ke celah-celah bukit yang retak dan sangat labil. “Gempa itu memperlemah perbukitan,” kata dia.
Menurut Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Yogyakarta Toni Agus Wijaya, curah hujan di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 49 milimeter per hari. Normalnya hanya 20 milimeter per hari. Hujan sering terjadi diiringi angin kencang dan sambaran petir. ”Daerah perbukitan, selain rawan longsor juga rawan diterpa angin kencang,” kata dia.
MUH SYAIFULLAH