Pekerja di pelabuhan masih dilanda kekhawatiran terhadap serangan demonstran dan memilih tak bekerja. Sehingga kapal tanker yang digunakan mengangkut minyak mentah terbengkalai di Laut Mediterania. Eksplorasi yang tengah dilakukan perusahaan minyak Eropa ikut terhenti. Mereka memilih memulangkan pegawainya dengan selamat dan tak peduli soal minyak yang harus dipompa.
Itulah kondisi yang terjadi di Libya sepanjang pekan ini. Belum ada yang bisa menjamin keadaan akan pulih speerti sedia kala di masa mendatang. Kerusuhan di Libya terbukti menyebabkan harga minyak semakin melonjak, meskipun Arab Saudi selaku eksportir minyak terbesar dunia telah menambah jumlah ekspor minyak untuk menekan kenaikan harga.
Para ahli memperkirakan butuh waktu beberapa minggu bahkan bulan sebelum Libya akhirnya mampu untuk memproduksi dan mengekspor minyaknya seperti semula. Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan bahwa produksi minyak Libya saat ini hanya berada di 850 ribu barel per hari, jauh dari angka produksi normalnya yang mampu mencapai hingga 1,6 juta barel per hari.
Produksi minyak Libya hanya sekitar dua persen dari produksi dunia. Tapi konsumen minyak mereka berada hampir di seluruh wilayah Eropa. Eropa dipastikan paling terkena dampak akibat penurunan produksi minyak Libya, karena Eropa mengambil 85 persen jatah ekspor minyak Libya. Minyak tersebut biasanya digunakan untuk menjadi bahan bakar diesel dan kendaraan.
Konsumen terbesarnya antara lain, Italia, Prancis, Jerman, dan Spanyol. Jumat lalu, Spanyol bahkan mengingatkan rakyatnya untuk mengurangi kecepatan berjalan kendaraan untuk menghemat bahan bakar. Repsol YPF, perusahaan minyak Spanyol, juga mengumumkan telah menghentikan operasi ladang minyak di Libya.
Lapangan minyak yang dioperasikan perusahaan lain pun diketahui hanya mampu menghasilkan minyak kurang dari separuh produksi normal mereka, atau hanya 160 ribu barel per hari. Selain produksi minyak yang lumpuh, pipa gas alam bawah tanah sepanjang 640 kilometer di Mediterania yang memanajng dari Libya menuju Sisilia juga tak beroperasi selama sepekan.
Tanpa kawalan pemiliknya, perusahaan energi Italia Eni SpA, belum dapat memastikan kapan pipa beroperasi kembali. "Pelabuhan di Libya saat ini tertutup karena cuaca buruk, pekerja yang kurang, serta tak ada produksi minyak," ujar Badan Energi Internasional. Padahal, pelabuhan kunci untuk mendistribusikan minyak mentah dari Libya.
Perusahaan kapal yang biasa mengangkut produksi minyak Libya turut menunda kegiatannya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Bahkan, kapal tanker untuk mengantar minyak ke Eropa masih berada di jarak 200 kilometer dari pelabuhan Libya. Mereka menanti informasi kapan waktu yang aman untuk melakukan transaksi pengangkutan dan pengiriman minyak.
Mohammed Al Katiri, analis Timur Tengah dari Kelompok Konsultasi Eurasia, memperkirakan butuh waktu setidaknya empat hingga enam bulan untuk meredakan konflik di Libya. Mengabaikan lapangan-lapangan minyak yang ada, justru diperkirakan akan menambah masalah keamanan negara tersebut.
Contohnya di Nigeria. Pengabaian ladang minyak kerap dimanfaatkan pihak tak bertanggungjawab untuk menyabotase pipa operasi dan mencuri minyak. Sehingga, korban berjatuhan akibat tindakan ceroboh itu. Satu-satunya pertanda positif, baik rezim Muammar Qadhafi maupun pemberontak ingin segera mengoperasikan kembali ladang minyak yang terbengkalai.
Bagaimanapun mereka tetap ingin mengelola kekayaan LIbya. "Qadhafi membutuhkan uang membayar tentara dan sekutunya agar tetap setia dan melawan pemberontak," tutur El-Katiri. Sementara itu, pihak pemberontak juga tak akan mengasingkan pemerintahan Barat yang selama ini bergantung pada minyak Libya. Lagipula, oposisi dan pemberontak membutuhkan dana memperkuat diri menghadapi serangan kelompok Qadhafi.
AP | GUSTIDHA BUDIARTIE