Fauzi menilai perda memiliki kekuatan hukum yang lebih ajek ketimbang sekadar menerbitkan surat keputusan (SK) gubernur. Untuk itu, pihaknya akan lebih dulu mengirim tim pengkaji ke wilayah yang lebih dulu menerbitkan SK pelarangan Ahmadiyah.
Jika rencana itu terwujud, Jakarta menambah panjang daftar daerah yang melarang ajaran Ahmadiyah. Sebelumnya, Jawa Timur dan Jawa Barat sudah menerbitkan SK yang mengharamkan aktivitas Ahmadiyah di kedua provinsi itu.
Tak semua kalangan sepakat dengan langkah pemerintah daerah itu. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Jafar, menyebut perda yang dibuat pemerintah daerah itu sebagai intervensi terhadap kehidupan umat beragama, karena aturan itu memuat larangan aktivitas keagamaan. "Kepercayaan tak boleh dibunuh," katanya.
Persoalan Ahmadiyah, kata Marwan, seharusnya diselesaikan dengan dialog, yang melibatkan pemuka agama, organisasi keagamaan, dan pemerintah. Ia mendesak pemerintah segera mengevaluasi perda maupun surat keputusan gubernur anti-Ahmadiyah. Marwan khawatir beleid itu akan memantik konflik baru terhadap kelangsungan hidup penerus ajaran Ahmadiyah.
Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menambahkan, perda pelarangan tersebut bertentangan dengan konstitusi. "Perda itu inkonstitusional karena tak sesuai dengan UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta berserikat dan berkumpul," katanya.
Tapi anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Catur Sapto Edi, mendukung perda pelarangan Ahmadiyah. Ia menilai perda anti-Ahmadiyah dapat dibuat selama tak memuat hal yang bisa memicu kekerasan. Bila tak menyetujui perda itu, ia menyarankan agar masyarakat menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum. "Bisa melakukan judicial review," katanya.
Catur mengatakan, Fraksi PAN sedang mendorong agar kebijakan yang menyangkut Ahmadiyah diatur dalam undang-undang sendiri. Sebab, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yang dibuat oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, kata dia, selama ini masih lemah. "Perlu dasar hukum yang lebih kuat," tuturnya.
Keberadaan Ahmadiyah, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, justru merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, kelompok itu mengganggu hak asasi manusia lain, khususnya umat Islam yang mayoritas. "Negara memang tak boleh mengganggu gugat kebebasan beragama. Tapi, ketika kebebasan beragama sudah membentuk diri sebagai organisasi, negara harus bertindak," ujarnya.
TRI SUHARMAN | HERU TRIYONO | ANANDA BADUDU