TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Tim Pengkaji Pengaturan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Anggito Abimanyu mengatakan usulan penetapan harga pertamax sebesar Rp 8000 didasarkan pada pertimbangan agar tidak terjadi perpindahan konsumsi dari pertamax ke premium.
“Kalau harga Rp 9000 tapi masih jual premium, nanti kendaraan pribadi akan lari ke premium,” kata Anggito usai rapat pemaparan opsi pengaturan BBM bersubsidi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (7/3)
Menurut Anggito, penetapan harga pertamax tersebut tidak melanggar ketentuan atau pemerintah. Bahkan, kata dia, tidak ada yang memberikan ketentuan bahwa pertamax tidak bisa disubsidi.
Pemberian subsidi ke pertamax ini, kata Anggito dilakukan secara sementara, karena kalau tidak ada penetapan harga pertamax, akan terjadi perpindah konsumsi premium ke pertamax. “Jadi harus dihitung pada harga berapa konsumen masih bisa membayar pertamax,” katanya.
Salah satu opsi yang diajukan Anggito ke pemerintah adalah kebijakan perpindahan penggunaan premiun ke pertamax oleh kendaraan pribadi. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi komsumsi premiun kendaraan pribadi. Selama ini konsumsi pertamax mencapai sekitar 3 juta kiloliter.
Yang kemudian harus dikaji lebih lanjut, kata Anggito pada harga berapa pertamax ditetapkan. Menurut Anggito yang paling memungkinkan adalah menetapakan harga pertamax di Rp 8000. "Itu berdasar survei kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
Menurut Anggito, paling tidak pemerintah harus menyiapkan cadangan dana sebesar Rp 600 miliar per tahun, apabila kemudian harga pertamax melambung sampai Rp 9000. “Dilihat dari harga sekarang saja, 1000 per liter dikalikan konsumsinya 600.000, ya Rp 600 miliar setahun,” katanya.
IQBAL MUHTAROM