TEMPO Interaktif, Semarang - Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengaku kesulitan memberantas peredaran minuman keras oplosan yang sudah mengakibatkan beberapa korban meninggal. "Selama ini, yang terjadi minuman oplosan itu dibuat di rumah-rumah tangga. Kami ga mampu harus mengawasi sampai di dapur-dapur orang," kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Semarang, Senin 14 Maret 2011.
Dalam kurun waktu 10 hari terakhir, korban meninggal dunia akibat menenggak minuman keras oplosan di Semarang sudah mencapai 13 orang. Dua korban terakhir adalah Suratin, 47, dan Janoka, 40, warga Jalan Rowosari Wonosari, Ngalian, Semarang. Keduanya tewas pada Minggu (13/3) lalu.
Edward menyatakan banyak kasus peredaran minuman oplosan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Para pengguna minuman oplosan, kata Edward, berkumpul di suatu tempat lalu menengak minuman haram itu secara bersama-sama. Bahkan, kata Edward, pembuat minuman keras oplosan juga memiliki izin usaha, seperti pembuatan alkohol untuk disetorkan ke rumah sakit. "Tapi mereka membuat minuman oplosan," kata Edward.
Edward meminta agar masyarakat aktif melaporkan jika mengetahui adanya pembuatan minuman oplosan. Sebab, itu akan memudahkan kinerja polisi untuk memberantas minuman berbahaya tersebut. Edward menyatakan salah satu ukuran keberhasilan untuk menilai kinerja polisi di satuan wilayah adalah sejauhmana keberhasilan memberantas minuman keras. Jika masyarakat disuatu daerah sudah melaporkan adanya minuman beralkohol itu tapi pimpinan polisi di wilayah itu tak menindaklanjutinya, maka menurut Edward, polisi tersebut tak layak memimpin institusi kepolisian wilayah setempat.
Ia setuju pelaku pembuat minuman oplosan harus dihukum seberat-beratnya. Dia menilai undang-undang minuman keras dinilai terlalu lemah untuk menjerat pembuat minuman oplosan. Jika ada yang meninggal dunia akibat miras maka ancaman hukumannya akan diperberat, misalnya menggunakan KUHP.
ROFIUDDIN