TEMPO Interaktif, Jakarta - Gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang beberapa waktu lalu diyakini tak akan membebani perekonomian Jepang. Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan jika mengacu pada pengalaman gempa Kobe 1995, Jepang hanya membutuhkan 0,4 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mereka selama lima tahun untuk biaya rekonstruksi.
"Jadi ini tidak terlalu mengkhawatirkan," katanya hari ini (18/3).
Jepang memang memiliki tingkat utang publik paling tinggi dibanding negara lain, yaitu lebih dari 200 persen terhadap APBN, dengan defisit fiskal sampai 7,5 persen. Namun, nilai APBN Jepang besar sekali, sehingga bisa kebutuhan biaya rekonstruksi tidak akan membuat goyah struktur biaya APB.
Tapi, tetap ada dampaknya ke perekonomian negara lain, termasuk Indonesia. Rencana investasi Jepang dalam lima tahun ke depan mencapai US$ 9 miliar, merupakan tertinggi di antara negara lain. Sekitar 39 persen di antaranya investasi di sektor manufaktur.
"Yang perlu diwaspadai ini," kata Mahendra. Selain itu utang luar negeri Indonesia US$ 33 miliar diantaranya dalam bentuk yen. Dampak lain yang akan diantisipasi adalah pelemahan impor selama beberapa bulan setelah bencana.
Mahendra memperkirakan akan ada pelemahan impor oleh Jepang, seperti yang pernah terjadi setelah gempa Kobe. Sebaliknya ekspor minyak, gas, dan batu bara di Indonesia bisa jadi meningkat seiring tidak berfungsinya sumber pembangkit nuklir Jepang. Di lain pihak ini juga akan memancing peluang kenaikan harga minyak dan gas.
Wilayah yang terdampak gempa dan tsunami diperkirakan menyumbang 6,5 persen dari Produk Domestik Bruto Jepang. Daerah ini merupakan basis produksi pertanian. Selain itu juga terdapat pusat industri baja, minyak ,dan bubur kertas.
Sampai triwulan pertama setelah bencana, diprediksi pasokan bahan baku turun dan terjadi perubahan pola konsumsi dan distribusi. Tren ini akan diikuti dengan lonjakan belanja konsumen di kuartal berikutnya untuk produk-produk jangka panjang seperti kendaraan dan elektronik.
Perekonomian Jepang juga diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran -0,4 persen hingga 0,2 persen. Tergantung pada seberapa cepat pemulihan dari bencana bisa dipacu. Mahendra memberi catatan, perhitungan ini belum memprediksi dampak dari ancaman kebocoran fasilitas nuklir.
Energi nuklir merupakan sumber energi pendukung untuk 28 persen dari pembangkit listrik di Jepang. Sebanyak seperempat di antaranya berada di kawasan yang diguncang gempa. Jika gangguan nuklir dan pemadaman listrik bergilir berkelanjutan, pasokan mesin-mesin industri Indonesia yang 30 persen berasal dari Jepang akan terganggu.
KARTIKA CANDRA