TEMPO Interaktif, Jakarta - Rok panjang merah menyala yang dikenakannya menyapu lantai beralas permadani Teater Salihara. Bertelanjang kaki, Mian Tiara berjalan ke tengah panggung pertunjukan mininya pada Sabtu malam pekan lalu. Langkahnya terlihat ringan dan santai. Namun, siapa sangka, suasana syahdu itu kian membuatnya kikuk. Mian Tiara, sang penyanyi jazz-pop indie, malam itu tengah mengisi acara dwibulanan Salihara bertajuk “Musik Perempuan”. Selain Mian, tampil Jemima dan The Orgasmic Brothers.
Pertunjukan sederhana itu dibuka dengan nomor manis berjudul Selalu Ada. “Inspirasinya berasal dari para sahabat dan teman yang selalu mendukung pilihan bermusik saya,” ujarnya sambil tersenyum. Tanpa jeda, Mian selanjutnya menyanyikan lagu bertajuk Not Even Love, yang membuat suasana dingin malam jadi kian hangat. Mian mampu menampilkan efek kegundahan hati. Lagu yang pernah dibawakannya dalam Festival Film Perempuan di Salihara tiga tahun lalu itu mampu melambatkan suasana dan mengacaubalaukan hati. “Saat itu lagu ini dimainkan secara trio, album saya pun bahkan belum keluar,” ujarnya mengenang.
Dengan iringan intro kontrabas Caka, lagu selanjutnya, Am I The One, kian menenangkan telinga. Mian, yang sebelumnya asyik menjelajahi panggung dari kanan ke kiri, kini duduk santai bersila. Am I The One didominasi petikan bas dan gitar bahkan hingga lagu berakhir.
Mian kembali mengawang dengan kesuraman pada lagu Little Space in Between. Diiringi petikan gitar Nikita Dompas, dia seolah menggiring penonton masuk ke tingkat gedung paling atas dengan secangkir kopi, menenggak segala pesakitan pada sore hari. Tentang ruang yang kasatmata. Meskipun tak bersentuhan, selalu ada koneksitas, sebuah jalan untuk saling terhubung. Cukup absurd memang.
Semua lagu tersebut dicomot dari album Mian bertajuk The Comfort of My Own Company. Lagu yang disuguhkan mayoritas mengajak ke suasana hati yang kelam secara slow. Album yang digarap selama tiga tahun ini diakui Mian sebagai sebuah perwujudan dirinya atas kenyamanan pribadinya. “Saya pikir itu harus, sebelum kita menyamankan orang lain, kan,” katanya. Lewat album yang kontemplatif itu, ia hendak berbagi cerita. Sayang, output sound yang belum maksimal dan konsep pengemasan album yang sangat sederhana, bahkan nihil cetakan lirik, menjadi nilai minus album ini.
Malam itu Mian tak sekadar diiringi band-nya. Ia juga menampilkan Riza Arshad dan Kartika Yahya, yang populer disapa Tika and The Dissident, pada lagu barunya, Fly, yang menjadi salah satu materi dalam album keduanya nanti.
Penyanyi kedua yang cukup menarik adalah wanita bernama Jemima. Meski ia disebut sebagai penyanyi yang membaurkan jazz dengan blues, tak dimungkiri, unsur blues tetap dominan dalam tiap lagunya. Dibuka dengan lagu bertajuk Musik Sepi, vokal Jemima terdengar lebih energetik dengan musik yang lebih dinamis. Dengan konsep panggung yang serupa—hanya ditambah beberapa tumpukan bantal putih—Jemima mengalunkan Laid Back.
“Kami ingin mengembalikan kejayaan blues pada 1970 hingga 1980-an,” katanya menyapa penonton. Lengkap dengan formasi band beserta perkusi, lagu Don’t Let Me Go mengalun, dilanjutkan dengan Homegrown, dan bermuara pada Imagination. Setelah itu, Jemima mempersembahkan sebuah lagu spesial yang ditujukan kepada ibundanya. “Ini saya persembahkan untuk ibu saya,” katanya. Dalam nomor ini, Jemima terlihat lebih emosional, hingga lagu ini tak tereksekusi dengan baik. Pada beberapa bagian, vokalnya terdengar tak mampu mencapai nada-nada tinggi sehingga suaranya terputus-putus.
Beruntung, pada lagu selanjutnya, Like Honey dan Paradise, ia berhasil menyelesaikannya dengan lebih lancar. Pertunjukan malam itu pun ditutup dengan lagu Give Me Your Love, yang diakhiri dengan “pamer” kebolehan para personel The Orgasmic Brothers memainkan alat musik.
Aguslia Hidayah