TEMPO Interaktif, - Para aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengaku cemas dengan upaya pencabutan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilu Kepala Daerah. "Jika dipulangkanke pengadilan tinggi, sulit menjaga hak rakyat atas pilihan di dalam demokrasi,"ujar Veri Junaidi, Peneliti dari Perludem, Sabtu 19 Maret 2011.
Menurut Veri, draft RUU Pemilukada yang disusun Kementerian Dalam Negeri menyebut pencabutan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan mengembalikan ke Pengadilan Tinggi. Ia merujuk Pasal 130 ayat 1 di RUU yang secara tegas menyebutkan penetapan jika ada yang merasa dirugikan dalam ketetapan calon bupati/walikota terpilih. " Disitu disebutkan, mereka dapat mengajukan keberatan di pengadilan tinggi" kata Veri.
Untuk menguatkan MK, lanjut Veri, bukanlah dengan memindahkan kewenanga itu. "Tapi penegakan hukum di berbagai tahapan baik pidana maupun administratif," katanya.
Ditemui di tempat yang sama, mantan anggota Pengawas Pemilu Pusat Topo Santoso menilai dicabutnya kewenangan itu justru bertentangan dengan konstitusi. Cara untuk mengatasi beratnya beban yang dihadapi Mahkamah Konstitusi adalah dengan penguatan penanganan penyelesaian di tingkat bawah.
"Misal pelanggaran administrasi oleh KPU dijalankan dengan baik dibuat aturan yang lebih detail termasuk sanksi. Kemudian untuk penanganan perkara pidana oleh polisi dan jaksa juga harus ditanganni dengan baik,"jelas Topo.
Yang kemudian menjadi masalah, lanjut Topo, ada pada pemahaman kepolisian dan kejaksaan dalam menyelesaikan sengketa pemilukada. Mereka dinilai masih belum memahamai karakteristik dari perkara pidana pemilu.
"Tindak pidana pemilu punya karakteristik yang khas, ada motif, taktik, strategi untuk buat perbuatannya seolah benar tidak melanggar hukum,"imbuhnya.
Senada dengan Veri, ia pun lebih setuju kewenangan mengadili tetap dimiliki MK. Sebab, katanya, MK jauh dari sumber konflik kepentingan dan tidak minim intervensi.
RIRIN AGUSTIA