Menurut Noor Veiga, satu di antara kurator pameran, secara fisik, budaya, sosial, dan adat istiadat dua bangsa itu jelas berbeda. Namun melalui pameran itu, perbedaan itu dikombinasikan menjadi satu tema karya. Tak hanya antar dua negara, namun juga dua benua. "Asia dan Eropa," katanya.
Meski begitu, nuansa kombinasi dua budaya dari dua negara berbeda itu terasa sungguh kental. Semisal karya seni instalasi milik Ulrike Stolte. Berbahan macam-macam kain khas kedua negara, tiga lembar kain tergantung di langit-langit ruang pameran. Ada batik, kain katun hingga jaring-jaring benang dan kasa. Lembaran kain – yang mirip rangkaian kain percah – itu tergantung mirip kelambu di ranjang.
Adapun di sisi lain ruang pameran, tergantung sebuah lukisan dengan tema peta dunia. Judulnya Dunia. Bedanya, dalam lukisan itu peta dibuat terbalik. Arah utara menjadi di bagian bawah. Adapun Selatan menjadi di atas. Akibatnya, benua Australia pun berposisi di utara. Adapun Asia, di bawahnya yang berarti di selatan Australia.
Sudjud Dartanto, kurator lainnya, mengatakan, pameran itu sekaligus sarana menguji ulang identitas. Soalnya, identitas masyarakat sangat ditentukan oleh sistem yang berlaku. "Tumpang tindih, seperti arti dari Crossing Signs," katanya.
Coba simak karya Sigit Bapak yang berjudul I Have No Land. Ini merupakan karya tiga dimensi berbentuk cangkul setinggi orang dewasa. Diletakkan di salah satu sudut ruang pamer, sebuah kalimat yang miris tertulis di tembok yang menjadi latar belakang karyanya itu diletakkan: I Have No Land.
Menurut Sudjud, karya itu menggambarkan pengalaman Sigit sebagai orang rantau. Lahir dari keluarga Jawa, orang tua Sigit adalah transmigran di Lampung. Disana, di tanah "pengharapan", mereka bertani.
Saat dewasa, Sudjud menambahkan, Sigit hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah. Di sinilah, batinnya bergolak. "Saya ini orang Jawa apa Sumatera," ujar Sudjud menirukan kerisauan identitas Sigit.
Namun, tutur Sudjud, pameran ini bukan hanya menjabarkan kembali realitas identitas Sigit yang tumpang tindih. Banyak hal yang mesti kembali diuji untuk menemukan kembali jatidiri, dari identitas etnik, nasionalisme, dan gender.
Setelah di Taman Budaya Yogyakarta, rencananya pameran ini akan digelar di Galeri Nasional Jakarta, 2-10 April 2011 mendatang.
ANANG ZAKARIA