TEMPO Interaktif, Bekasi - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menargetkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) rampung pada tahun ini. Undang-undang baru itu merupakan revisi dari UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, karena dinilai tidak lagi sesuai kebutuhan saat ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan revisi undang-undang itu dasarnya adalah surat keputusan bersama (SKB) pada 22 Desember 2009 lalu. SKB ditandatangani Ketua Mahkamah Agung, Kepala Kepolisian RI, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain itu, rencana mengganti UU Pengadilan Anak itu telah disetujui Komisi Hukum dan Perundang-undangan DPR. “Undang-undang baru ini bukan lagi sekadar revisi undang-undang lama tetapi perubahan mekanisme pidana terhadap anak,” kata Linda, pada acara sosialisasi RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, Senin 4 April 2011.
Undang-undang lama, menurut Linda, banyak melanggar hak anak. Seperti, menempatkan mereka di tahanan orang dewasa sehingga rawan terjadi tindak kekerasan.
Data Departemen Hukum dan HAM menyebutkan, hingga Februari 2011 tercatat 57 persen dari 4.767 anak ditahan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan untuk orang dewasa. Pada 2008 lalu ada 5.630 anak, dan 6.308 pada 2010.
Menurut Linda, tujuan undang-undang yang sedang digodok adalah mengubah cara penanganan anak yang terlibat masalah pidana dari hukum formal menjadi informal. Bahkan, tidak dilakukan vonis lewat pengadilan. “Dilakukan pendekatan yang membangun,” katanya.
Selain itu, Undang-undang tersebut nantinya menjadi dasar utama pendirian lembaga penempatan sementara anak (LPSA), bukan tahanan. “Idealnya nanti itu di semua provinsi ada LPSA."
HAMLUDDIN