Di lantai bawah panggung itu, Ardina Rasti meliuk-liukkan tubuhnya dalam balutan kebaya adibusana merah. Kemudian Smitha Anjani, Shireen Sungkar, Dinda Kanya Dewi, Donita, dan Nuri Maulida muncul perlahan-lahan mengisi lantai bawah panggung yang semakin terang.
Selanjutnya, layar panggung dibuka utuh. Panggung Teater Jakarta ternyata disulap menjadi panggung tiga lantai. Di lantai tiga, Dea Mirella menyanyikan lagu Angel milik Sarah McLachlan diiringi musik kontemporer besutan Vicky Sianipar.
Baca Juga:
Kejutan belum selesai, Nadine Chandrawinata “terbang” dari sisi kanan panggung dengan jubah ungu panjang dan berhenti di lantai dua panggung tengah. Selebritas di lantai satu naik ke lantai dua. Mereka menari dalam nada-nada indah yang terlantun dari bibir Dea Mirella.
Penonton baru menyadari bahwa inilah sekuens pertama yang diberi judul “Angel”. Tujuh selebritas di lantai dua panggung tengah memerankan bidadari yang turun dari kahyangan dalam balutan kebaya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu layaknya pelangi. Mereka turun ke bumi untuk mandi, sehingga kebaya berhias payet dan kristal itu dibuka. Kini, hanya dengan mengenakan bustier yang juga penuh dengan kilau, para bidadari itu menari. Menari. Dan terus menari, hingga alunan suara Dea dan musik kontemporer itu berhenti.
Panggung gelap. Namun drama belum usai. Kegelapan itu hanya satu dari 15 pergantian sekuens dalam pergelaran mode teatrikal ini. Raden Sirait tak setengah-setengah dalam merayakan lima tahun berkarya bersama kebaya. Kebaya adibusana, ekstravaganza, dengan sentuhan total mulai dari kerut, payet, kristal, bulu, hingga jumbai memang jadi ciri khasnya dalam lini busana utama berlabel “Kebaya For The World” itu.
Kebaya yang ia rancang pun jauh dari konsep kebaya tradisional yang dipakai perempuan Jawa masa lalu. Untungnya, dia cukup pintar untuk menampilkan 155 kebaya ekstravaganza itu dalam satu pertunjukan teatrikal. Musik, tarian, nyanyian, dan koreografi dalam pergelaran ini menyeimbangkan sentuhan total Raden dalam kebaya adibusana rancangannya.
Raden, yang terlibat langsung dalam pertunjukan ini, sepertinya juga mampu melihat bakat-bakat unik teman-temannya. Hampir semua yang disebutnya “teman”, bahkan “soulmate”, terlibat dalam pergelaran ini. Misalnya Asty Ananta, ikon “Kebaya for The World”, menarikan burlesque dan tap dance dalam sekuens ketiga pertunjukan ini. Kebaya putih dipasangkan dengan hot pant hitam, tongkat, dan topi. Asty dan penari lainnya juga berhasil mengajak penonton yang hadir turut bergoyang,
Selain itu, masih ada 18 teman wanita Raden dari berbagai profesi yang menjadi model dalam pergelaran ini. Mereka bukan model, aktris, atau selebritas. Sebagian besar justru ibu rumah tangga, ada pula CEO, manajer mal, dan jurnalis. Tinggi mereka rata-rata. Ada yang terlalu kurus atau sebaliknya. Namun semuanya tampil memukau dalam kebaya Raden.
“Saya ingin teman-teman yang menjadi bagian dalam perjalanan hidup saya turut naik ke panggung,” kata Raden kepada Tempo saat wawancara untuk Profil dua bulan sebelumnya.
Sebetulnya 15 sekuens dalam 2,5 jam pergelaran memang terlalu panjang. Apalagi pertunjukan ini dimulai tidak tepat waktu, sehingga berakhir tengah malam. Walhasil, sampai sekuens keempat, penonton masih berfokus dalam pertunjukan ini. Terutama saat Ayu Laksmi menyenandungkan Maha Asa yang syairnya menggunakan bahasa Kawi. Nuansa magis begitu kental saat sekuens keempat dibuka.
Tak lupa akan asal-usulnya, satu sekuens didedikasikan kepada tanah kelahiran dan sukunya, Batak. Raden sendiri terlahir dari satu keluarga kurang mampu--ayahnya seorang penjahit dan ibunya buruh tani buta huruf. Namun hal itu justru membuat Raden berkeinginan kuat meraih sukses.
“Saya tak bisa menggambar. Saya tak bisa membuat sketsa desain, pola, atau jahit," katanya. Namun dia menganggap dirinya merupakan bukti bahwa "Tuhan menganugerahkan talenta dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi manusia untuk juga mencipta, tanpa pamrih”.l AMANDRA MUSTIKA MEGARANI