Namun lukisan bertajuk Ritus dalam Gelas sama-sekali tak ada kaitannya dengan letusan gunung berapi. Menurut pelukisnya, I Wayan Sudiarta, lewat karya itu ia sedang menggambarkan situasi sosial saat ini ketika pemujaan terhadap seksualitas seolah telah menjadi ritus sehari-hari.
Memang, bila ditilik lebih cermat, Ritus dalam Gelas mengambil obyek kelamin perempuan yang dijadikan pemujaan. Simbolisasinya adalah gambar dua tangan yang tertangkup rapat dan menjulang ke selangkangan sang perempuan. “Ini realitas problem seksualitas yang kita hadapi sehari-hari,” ujar Sudiarta tentang karyanya yang kini tengah dipamerkan di Bentara Budaya Bali, Denpasar, hingga 8 April mendatang.
Dalam pameran bertajuk “Out of the Locker” itu, Sudiarta menampilkan enam lukisan, dua karya instalasi, dan satu karya tiga dimensi. Karya-karyanya itu bercerita tentang problem seksualitas terbaru. Lihatlah dalam seri tiga lukisan yang dipajang vertikal. Pada lukisan pertama, Sudiarta memvisualkan vagina layaknya monster yang memiliki kekuatan luar biasa. Di lukisan kedua, ia mengolah fantasi hubungan antara wanita dan wanita alias lesbianisme. Adapun di visual ketiga, ia mengambil obyek keliaran hubungan seks antara manusia dan binatang.
Inspirasi dosen seni rupa di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali, untuk menggali tema-tema tentang penyimpangan seksual dan pemujaan terhadap hasrat purba itu muncul ketika dia banyak membaca berita di media massa. “Berita populer selalu terkait dengan masalah itu. Tak peduli siapa pun yang melakukannya,” kata perupa kelahiran Peliatan, Ubud, Bali, 23 April 1969, ini.
Sudiarta menyatakan di bawah sadarnya ia sering merasa tercekam oleh kekhawatiran fantasi akan hasrat purba itu. Semacam kecemasan bahwa manusia akhirnya akan takluk kepada nafsu seksual belaka. Apalagi belakangan ini seks sudah mulai dilakukan anak-anak pada usia yang sangat dini.
Pengamat seni rupa yang juga kurator pameran, Hardiman, menilai karya-karya itu mempertontonkan cara Sudiarta menafsirkan seksualitas menggunakan idiom tradisi, tapi sekaligus mewakili corak kekinian. “Ia menggunakan bahasa rupa Bali untuk tema yang sangat kontemporer,” ujarnya.
Kelebihan Sudiarta, menurut Hardiman, diperoleh karena dia pernah belajar kepada sejumlah maestro seni rupa tradisional Bali, seperti Wayan Gandera, Ketut Djudjul, Wayan Daging, dan Wayan Barwa. Jejaknya terlihat pada figur-figur dan idiom yang mendekati bentuk-bentuk wayang.
Sudiarta juga menjelajahi bahasa seni rupa yang formal. Ada kemungkinan untuk memadukannya kemudian diolah menjadi bahasa visual yang unik. Lihatlah dalam karya instalasi ketika dia memajang sebuah bathtub putih kemudian melukisnya dengan sesosok tubuh perempuan. Yang membuat ngeri, slang air itu kemudian diposisikan memasuki organ wanita yang paling intim.
Hardiman menyatakan, secara tematik, Sudiarta berani mengeksplorasi sebuah penyimpangan atau abnormalitas. Ia seakan ingin mengeluarkan suatu hal dari sebuah persembunyian (out of the locker). Ini adalah sebuah pilihan yang jarang diambil oleh para perupa Bali karena pertimbangan tidak mengganggu harmoni sosial. “Lukisannya mempertautkan dialek rupa tradisi Bali dan idiolek miliknya dalam merespons persoalan global,” kata Hardiman, mengenai pelukis yang telah berpameran di sejumlah negara, seperti Singapura, Jerman, dan Italia, itu.
Dalam pameran Sudiarta itu, Hardiman menambahkan, ada dua hal yang mengemuka, yakni bahasan seksualitas dan bahasa formal seni rupa. “Perkara seksualitas yang diajukan Wayan Sudiarta adalah perkara tipe kepribadian yang, oleh masyarakat dominan, sering disebut sebagai ‘abnormal’,” ujarnya.
Suatu kepribadian bisa dikategorikan “normal” bila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan. “Kepribadian yang sama, bila tidak sesuai dengan tipe kepribadian dominan, akan dianggap ‘abnormal’ atau menyimpang (deviant),” ucapnya.
Guru besar antropologi Universitas Pendidikan Ganesha, Nengah Bawa Atmadja, menyatakan karya Sudiarta tidak hanya ungkapan ekspresi. “Ini sarana menengok realitas yang kita sembunyikan,” ujarnya.
Nengah menyimak karya-karya Sudiarta itu sebagai sebuah kritik sosial, juga bagi masyarakat Bali. Ujung-ujungnya, tutur dia, kritik itu harus menjadi cara untuk menepis arogansi budaya dan meneropong upaya untuk memperbaiki diri sendiri.
ROFIQI HASAN