Selama ini, Darmono menambahkan, aparat juga belum pernah menerapkan ancaman hukuman mati terhadap para koruptor. “Sekali lagi itu akan sangat selektif,” ujarnya.
Dia menjelaskan, hukuman mati akan diberikan pada terdakwa koruptor jika syarat yang ditetapkan sudah dipenuhi. “Ada persyaratan sebelum hukuman mati diterapkan. Yakni dalam keadaan bencana, serta menimbulkan masalah yang meresahkan masyarakat di bidang ekonomi.” jelasnya.
Darmono tak memungkiri, hukuman mati hingga kini masih jadi perdebatan, apalagi jika dikaitkan dengan hak asasi manusia. Saat ini sejumlah negara sudah mencabut ancaman hukuman tersebut, karena dianggap berbenturan dengan HAM.
“Itu memang jadi permasalahan dunia karena terkait dengan HAM. Sehingga negara-negara yang menganut prinsip perlindungan HAM, memang akan menolak melakukan pembahasan perundingan (kerjasama bilateral) kalau kita masih menerapkan hukuman mati,” ungkapnya.
Sebelumnya rencana revisi UU Tipikor menuai kritik. Indonesia Corruption Watch misalnya, menganggap draf revisi UU tersebut justru kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Poin yang dipermasalahkan ICW adalah penghapusan kewenangan KPK dalam menuntut, penghapusan hukuman mati, pengurangan nilai hukuman minimal, dan penghapusan pidana pada korupsi senilai kurang dari Rp 25 juta.
KPK sudah menyatakan keberatannya terhadap materi RUU Tipikor yang baru. Beberapa waktu lalu Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, revisi UU Tipikor belum diperlukan, karena UU yang ada saat ini, yakni UU No.31 tahun 1999 dan UU No.20 tahun 2001, sudah akomodatif.
ISMA SAVITRI